Antara Konservasi, Om Tony dan Kebutuhan Hidup




Namanya om Tony, masyarakat desa Balang, suatu desa di Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud. Sebagai petani yang hanya memiliki lahan seluas 1/4 ha dan tak berpenghasilan cukup, pria berumur 48 tahun ini bekerja sambilan sebagai pemangkas pohon. Ia memangkas pohon besar yang tumbuh di dalam kebun cengkeh dan pala. Sedikit demi sedikit cabang pohon besar di pangkas agar tidak merusak tanaman.


Melalui pekerjaan ini ia biasanya dibayar 200-300 ribu untuk setiap pohon yang ia pangkas. Harga yang layak katanya untuk aktivitas yang mempertaruhkan nyawa. Tapi kali ini om Tony tidak memangkas pohon, ia hanya ingin mengambil "paniki" (kelelawar), tidak untuk dijual tapi untuk lauk bagi keluarganya.


Karena tahu saya sementara penelitian tentang satwa yang di lindungi, om Tony bertanya" nyanda apa-apa kang kalo ba ambe paniki?, nyanda dapa marah toh? cuma mo makang kwa". Aku senyum sambil berkata: "kong somo bakar jo? nanti kita yang ator depe bumbu".


Mengutip http://celebio.org, Sulawesi Utara dan Gorontalo memiliki 20 dari 24 jenis kelelawar buah (Pteropodidae) yang terdapat di kawasan Sulawesi. Sembilan diantaranya bersifat endemik untuk kawasan Sulawesi; salah satunya adalah Kekelawar buah talaud (Acerodon humilis). Kelelawar yang langka ini hanya diketahui dari pulau Karakelang dan Salibabu (Talaud).


Hampir semua satwa endemik Sulawesi Utara terancam populasinya, Lee et al. 2005 melaporkan bahwa perburuan satwa di Sulawesi Utara telah memasuki pasar komersial, sehingga menjadi salah satu faktor utama penurunan populasi selain degradasi habitat. Pertanyaannya, bagaimana dengan perburuan tradisional? yang mengabil sesuai dengan kebutuhan? apakah masih ada praktek perburuan yang tradisional? bagaimana mewujudkan coexistence antara manusia dan satwa? apakah om tony berdusta bahwa ternyata sebagian dari paniki tersebut akan di jual ke pasar? haruskah om Tony malam ini makan ubi dan dabu-dabu saja tanpa paniki bumbu rw? atau apakah malam ini kita minum cap tikus tanpa tola-tola


Sumber foto: Dokumentasi pribadi

You Might Also Like

0 comments