Berkenalan Dengan Para Anarkoh

Sumber gambar: https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20201013/Anarko-Sindikalis-dan-Jejak-Anarkisme-di-Indonesia/

Oleh: Blazing Sun

 

 

Sebuah perkenalan...


Anarkis hari ini secara jumlah bisa dibilang tidak sedikit, maksudnya sebagai minoritas malahan bisa dibilang sangat banyak. Karena sepertinya rumit dan mahal untuk bikin sensus khusus “penganut” anarkisme, di sini saya akan menggunakan data yang tersedia. Begini, jika kita melihat follower akun instagram daunmalam, sebagai penerbit buku-buku anarkisme, sampai tgl 19-12-2018 pukul 02:12 WIB akun ini memiliki 8.108 follower. Sementara di twitter, Anarkis.org memiliki 5.717 pengikut, dan pada fanpage facebook Anarkis.org sampai tgl 19-12-2018 pukul 02:12 WIB disukai oleh 14.839 pengguna. Ribuan saudara-saudari!

 

Pada perhitungan kasar nan spekulatif ini saya lebih memilih menggunakan fanpage Anarkis.org di facebook, ketimbang twitter atau akun instagram daunmalam. Hal ini dilakukan bukan atas dasar banyaknya follower dan yang menyukai, tapi lebih pada pertimbangan: Pertama, fanpage facebook Anarkis.org adalah  bagian dari web Anarkis.org sebagai salah satu platform publikasi teks-teks anarkisme (mudah-mudahan sudah segala tendensi). Kedua, mengingat para anarkis militan post primitifis, pseudo anti-peradaban yang entah kenapa masih lebih senang menggunakan facebook ketimbang instagram.

 

Ok lanjut. Jika asumsinya hanya setengah saja pengguna facebook yang benar-benar bersetia dengan anarkisme, atau paling tidak bersimpati (karena setengahnya lagi, akun endorse, intel(?), orang dengan banyak akun untuk Poker, orang kurang kerjaan dan lain-lain), kita punya setidaknya 7.419 pengguna dari total 14.839. Artinya, anarkis  di Indonesia (kalau bisa dibilang begitu) paling tidak terdapat sebesar 0,0037% dari total penduduk yang berjumlah sebanyak 264 juta pada tahun 2017. Angka inipun bisa bertambah mengingat para simpatisan radikal John Zerzan yang memilih tidak menggunakan HP dan media sosial, juga tidak bisa disepelekan dalam hal jumlah. Sekali lagi, terbilang banyak untuk minoritas bukan?

 

Tapi di sini saya tidak akan bicara jumlah dan hitung-hitungan, itu pembuka saja biar tulisan ini terkesan menggunakan data, walau debatable. Yang saya mau sampaikan dalam tulisan ini adalah bagaimana para anarkis ternyata begitu gemar menggunakan media sosial (online) yang juga berimplikasi pada jaringan komunikasi yang berbasis online pula. Namun bukan kerinduan akan komunikasi offline yang mendorong saya menuliskan ini, tapi lebih pada distorsi yang ditimbulkan komunikasi via online. Dan tentu saja banyak dari para anarkis yang senang melakukan pertempuran di ranah maya ketimbang nyata.

 

Facebook, instagram, twitter, line, whatsapp, youtube, website, blog, dll sudah tentu adalah media promosi dan kampanye. Aplikasi media online ini menyediakan medium pemberontakan artifisial di mana setiap orang bisa menjadi siapa saja. Suplai informasipun beragam: fakta dan hoax. Tapi alih-alih menemukan pemberontakan dan pembajakan jaringan digital seperti yang diusulkan para pro-situ[1], saya pada akhirnya berkenalan dengan para anarkis wikipedia, sebuah arus golongan radikal yang mencoba menemukan jati diri dalam postingan dan status-status media online.

 

Dalam hal ini, saya tidak sedang mengulangi perdebatan menarik antara Murray Bookchin dan Bob Black soal lifestyle anarchism. Di mana saya secara pribadi sepakat soal “..terdapat kecenderungan narsisme dan –glorifikasi- ekspresi diri, dll..[2] dalam gerakan anarkisme seperti yang dikatakan Bookchin, tapi saya juga sepakat bahwa “hedonisme dalam arti kata selalu menjadi landasan bersama bagi hampir semua anarkis[3] seperti yang dikatakan Black. Saya tidak ingin mengajak saudara-saudari terlibat dalam ant mill[4] yang melelahkan. Tapi semoga kita kelak bisa membicarakan ini pada lain kesempatan. Lagi pula yang mau saya sampaikan di sini bukanlah golongan yang dikritik Bookchin apa lagi yang dibela Bob Black.

 

Selanjutnya tulisan ini tidak mencoba menyikapi perdebatan beberapa individu “anarkis” dengan si papa punk rock, berinisial Jerinx, tidak! Juga tidak dalam upaya menjelaskan kenapa ada anarkis yang bisa dengan mudah menjual temannya, dengan murah pula[5]. Saya cuma gatal saja untuk menuliskan ciri-ciri para anarkis yang selanjutnya akan  saya sebut sebagai anarkoh[6]. Mengingat beberapa dari mereka memang senang megidentifikasi diri sebagai anarkoh ketimbang anarkis.

 

Ini penting untuk diketahui bahwa anarkoh atau anarko adalah hal yang benar-benar baru. Menariknya, kata “anarko” yang digunakan untuk identifikasi diri dan mengidentifikasi para simpatisan anarkisme, hanya dilakukan di Indonesia. Serius, luar bisa kan? Berdasarkan penelusuran daring, kata “anarko” baru populer digunakan di Indonesia sejak tahun 2014, dan itupun digunakan oleh media pada berita-berita sensasional.

 

Secara etimologis anarkisme berasal dari bahasa Yunani Kuno Anarkhia, yang berarti "tanpa penguasa", terdiri dari awalan an- ("tanpa") dan kata arkhos ("pemimpin" atau "penguasa"). Meski demikian kata anarki tidak dieja: "Anarchos", melainkan diturunkan secara terpisah dari akar "arch" yang berarti "struktur". Ini adalah akar yang sama seperti "hierARCHYy", "monARCH", dan "oligARCHY". Sehingga secara kontekstual menjadi "an-ARCHy", yang secara harfiah berarti "tidak ada penguasa"[7]. Sedangkan “isme” dalam anarkisme adalah imbuhan untuk mengambarkan idiologi. Karenanya, secara sederhana, Anarkisme adalah filosofi dan gerakan politik yang menolak negara dan kapitalisme, sebagai manifestasi dari kekuasan. Ini berbeda dengan “Anarchie dalam bahasa Perancis yang pernah digunakan untuk menggambarkan kekosongan pemerintahan (absence of government) pada tahun 1830-an di Prancis dan Amerika. Atau "Akrasi" yang digunakan di Yunani kono, yang secara harfiah berarti tanpa pemerintah, atau juga untuk mengambarkan situasi kekosongan pemerintahan. Intinya, baik secara leksikal maupun kontekstual "anarki" dalam anarkisme berbeda dengan Anarchos, Anarchie, Akrasi, apalagi anarko.

 

Sepertinya di mana-mana, para “penganut” anarkisme selalu diidentifikasi atau mengidentifikasi diri sebagai anarkis, yah di mana-mana, selain di Indonesia. Bahkan sebagian anarkis menolak diasosiskan dengan anark(isme), semenjak mereka menolak idiologi. Dalam teks, penggunaan kata anarko tidak pernah tunggal, melainkan selalu diasosiasikan dengan tendensi idiologis atau kecenderungan parktikal tertetu, seperti anarko-komunisme, anarko-sindikalisme, anarko-primitivisme, bahkan anarko-kapitalisme. Sebelum ada term anarko-komunisme[8], mereka menggunakan term libertarian komunis, libertarian sosial atau libertarian kiri (ini juga untuk menegasakan perbedaan dengan lebertarian dan libertarian kanan), namun mereka tidak pernah menyebut diri mereka sebagai anarko, mereka tetap mengidentifikasi diri sebagai anarkis. Jadi singkat kata, mereka yang menggunakan anarko untuk megindentifikasi diri atau untuk menjelaskan anarkis atau bahkan anarkisme, adalah moron yang tidak benar-benar memahami anarkisme namun sok tahu dan songong: para poser, media arus utama, Marxis wannabe, negara, dan tentu saja para anarkoh.

 

Tapi sebelum semua terlalu serius, saya mau menegaskan bahwa ini adalah curhatan belaka, bukan lagi baper tapi lagi laper. Begini saudara saudari yang terhormat, perlu diketahui bahwa para anarkoh ini butuh dipahami karena memiliki logika yang rupa-rupanya adalah kloning prematur dari anarkisme itu sendiri. Dengan memahami bahwa variasi tendensi dalam anarkisme tidak ditentukan oleh sentralitas ketokohan dan isme-isme, namun oleh ide dan kecenderungan tindakannya, saya paling tidak punya 7 panduan yang dapat dijadikan bahan mengidentifikasi para anarkoh, yaitu:


1.      Mereka adalah individu yang super sensitif.

Sebagai pejuang, para anarkoh memang harus super sensitif, inilah dasar keberpihakan mereka terhadap kebenaran dan alasan memerangi kebatilan. Sangking sensitifnya, para anarkoh akan emosi jika berhadap-hadapan dengan otoritas. Ini sungguhan, bukan main-main. Cara mereka memandang otoritaspun beragam. Sementara para anarkis mengidentifikasi otoritas sebagai: negara dan kapitalisme beserta turunan-turunannya; fasisme, rasisme, ketidakadilan gender, perusakan ekologis, senioritas, dll, serta tentu saja golongan komunis otoriter. Para anarkoh lebih ekstrim lagi. Mereka memandang bahkan kritik adalah bentuk otoritas. Mereka pasti marah-marah jika didebat. Apa lagi dikritik, mereka akan bilang: fuck off kami tak butuh pendapat kalian!”. Bukan karena mereka tidak punya basis argumentasi yang jelas, tapi karena memang sensitifitaslah basis argumentasi mereka. Berhadapan dengan yang seperti ini, harus bawa lenso buat seka air mata.


2.      Mereka butuh pengakuan.

Sebagai anarkis yang anonim, maksudnya yang menggunakan nama sedikit berbeda dari KTP, mereka butuh diakui. Memang siapa yang berani ngaku-ngaku anarkis di tengah rezim yang otoriter kayak gini? Siapa yang berani kibar-kibarin bendera merah-hitam sambil teriak ACAB? “Cuma kami!” Karenanya keberanian mereka layak dihargai dengan pengakuan, dan eits jangan bertanya soal komitmen mereka, ingat mereka individu yang super sensitif. Untuk berhadapan dengan yang begini, jangan lupa memanggil “bang”.


3.      Mereka butuh atribusi

Berhubungan dengan pengakuan, para anarkoh ini butuh mengatribusi diri mereka sendiri dengan gaya dan simbol-simbol yang tentu saja harus anti-otoritarian. Mulai dari pose mengibarkan bendera merah-hitam di tengah aksi yang dikawal polisi, sampai postingan buku-buku cetakan daun malam yang sengaja dibikin berserakan di samping kopi hitam dan rokok ketengan. Ini harus sudara. Ini adalah eksistensi.

 

Menurut saya sebenarnya ini penting, agar orang-orang apa lagi polisi tidak sibuk-sibuk bikin identifikasi dan ngelakuin proses intelejen yang memang pas-pasan dan tidak canggih-canggih amat. Ya para kamerad anarkoh ini senang sekali mengindentifikasi diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan postingan radikal. Saya yakin mereka adalah pelanggan kaos-kaos Antifa dan tentu saja follower militan dari akun daun malam. Karenanya para anarkoh ini lebih tepat disebut sebagai menoritas ketimbang minoritas. Kalau mau akun kalian difollback jangan lupa pasang profil picture Bakunin.


4.      Mereka gemar membaca, menulis, dan berdiskusi

Untuk memupuk sensitifitas sekaligus meningkatkan kapasitas, mereka gemar membaca buku-buku (terutama terjemahan daun malam), qoutes di instagram, dan tentu saja wikipedia. Bagi mereka: “ngapain baca yang rumit dan tebal-tebal, jika wikipedia bisa menjelaskan segala hal”. Selanjutnya untuk “mematerialisasikan” ide-ide radikalnya, para anarkho ini pun rajin menulis, anda bisa membacanya pada status-status facebook dan caption di instagram. Tak sampai di situ, mereka adalah orang-orang yang rajin berdiskusi. Mereka membicarakan gosip-gosip, menyebarnya, menjadikan rumor sebagai dasar untuk secara militan menyerang orang yang bahkan tidak mereka kenal. Sebenarnya jika mereka bukan anarkho, mungkin mereka akan setenar Tere Liye.


5.      Mereka individu yang bebas

Kebebasan adalah dasar dari gerakan libertarian kiri, atau libertarian sosial. Jika ini soal nilai dasar, jangan pernah diganggu-gugat saudara-saudari. Sangking bebasnya para kamerad anarkoh ini, mereka dengan bebas juga akan berkata: ”apa urusanmu dengan hidup saya?” Inilah pertanyaan sekaligus pernyataan kebebasan paling tinggi dari para anarkoh. Mereka bahkan bebas untuk melarikan diri, dan melempar kesalahan pada orang lain.

 

Tapi jangan salah, walaupun terkesan eskapis sekaligus punya mental infantil, mereka adalah orang bebas yang radikal. Mereka bebas datang ke daerah konflik, malahan nyari yang memang punya potensi keos agar bisa jadi bahan update status dan bisa punya alasan menulis caption yang tidak kalah radikal. Karena bebas, mereka juga bebas untuk cabut jika polisi balik menyerang.

 

Sebagai saran, para kamerad anarkoh sangat cocok dalam ngopi-ngopi dan kongkow-kongkow tapi jangan sekali-kali dijadikan kawan dalam perang jalanan, ingat mereka bebas lho, mereka bisa dengan bebas berkhianat.


6.      Mereka individu yang setara

Selain kebebasan, kesetaraan adalah juga dasar. Kesetaraan bagi para anarkoh bukan main-main saudara, mereka mengusung kesetaraan bagi sesama anarkoh. Lebih spesifik bagi mereka dengan tendensi anarkisme yang sama. "Buat apa mengusung kesetaraan dengan para individualis apa lagi nihilis?". "Atau tarulah mereka sindikalis, tapi sering kritik sesama sindikalis, ngapain?" Jadi semboyan mereka adalah: kesetaraan bagi setiap anarkoh yang seiman dan setendensi, plus yang tidak saling kritik. Amin.


7.      Mereka adalah diri mereka sendiri

Ini yang paling penting kamerad. Menjadi diri sendiri adalah tujuan utama. Kalau kebebasan dan kesetaraan adalah dasar, menjadi diri sendiri adalah kuntji. Tapi jangan salah, bagi anarkoh, menjadi diri sendiri adalah juga menjadi seperti Bakunin, menjadi seperti Emma Goldman atau paling banter menjadi seperti Jerinx, yah sekurang-kurangnya seperti Yab Sarpote lah.

 

Tentu saja mereka menolak senioritas, tapi tidak dengan selebritas. Karenanya jangan lupa poin ke-2: mereka juga butuh pengakuan.


8.      Silahkan Ditambahkan Sendiri..

(Agar saya tidak dianggap solipsistik... hahai)

 

 

Demikianlah beberapa cara untuk mengidentifikasi para kamerad kita yang anarkoh. Ini sebenarnya tidak penting, tapi cukup berbahaya saudara. Sekali lagi bukan persoalan personal, para anarkoh ini tidak membesar akibat mengkonsumsi jamur Amanita muscaria atau jamur Alice in Wonderland atau jamur Super Mario yang ketika dikonsumsi menimbulkan halusinasi seperti membesar. Tidak saudara, jauh-jauh hari Pietro Staheli anggota Situasionist International (SI) telah menjelaskannya sebagai: rekuperasi, yang sederhananya adalah proses penihilan makna dan simbol perlawanan[9]. Ini bukan persoalan Sunset di Tanah Anarki yang disebut-sebut kehilangan ruh perlawanannya saat dinyanyikan oleh biduan dangdut Via Valen. Karena pada persoalan ini, anarki sudah terekuperasi saat dinyayikan oleh selebriti punk yang kemudian dipasarkan lewat indutri musik dengan label Sony Music Entertainment.

 

Tawaran singkat


Lewat endorse-endorse, anarkisme ditawarkan layaknya jajanan murah meriah. Anarkisme menjadi tren hip bagi para muda-mudi yang mencoba mendefinisikan dirinya. Luar biasanya, di ranah digital ini, menjadi bebas plus radikal adalah juga berarti menjadi konsumen. Demikianlah kita terjebak dalam relasi spektakel yang spektakuler. Ini juga yang oleh SI disebut sebagai reifikasi[10]. Dengan mengidentifikasikan diri mereka sebagai refleksi dari idol-idol anarkisme dan simbol-simbolnya, mereka seaakan-akan menjadi diri sendiri, mereka lupa ada proses subjektifikasi yang demikan menjadikan mereka sebagai komoditas, sebagai individu yang terasing dengan dirinya sendiri sekaligus dengan realitas sosialnya.

 

Jika masih mau merujuk pada SI, mungkin saatnya kita perlu mencoba detournement,[11] membajak atau menjungkirbalikan yang terekuperasi menjadi sesuatu yang berbahaya. Sibernetik adalah penting, dan tergantung bagaimana kita menggunakannya. Saatnya menggunakan jaringan digital ini sebagai sirkuit permainan yang bergairah. Saya pikir banyak hal telah dicoba, salah satunya adalah: membajak dan membalikan hoax menjadi senjata. Mentranformasikan kebigungan menjadi sebuah panik seperti yang diusulkan Tiqqun[12]. Tapi yang tak kalah penting menurut saya adalah upaya menciptakan jaringan konspirasi berbasis online dan offline secara bersamaan. Di mana kita tidak hanya sekedar menyampaikan kabar, tapi menjadi kabar itu sendiri.

 

Selanjutnya, terkait dengan para kamerad anarkho ini, saya sebenarnya senang dengan kehadiran mereka, selain tentu saja menghibur, mereka adalah representasi dari imaji pembangkangan yang ditawarkan dunia digital hari ini. Usulan saya: sebagai gelembung, mungkin lebih menarik jika mereka diinjeksikan dengan gas, selain kemana-mana ditiup angin, gelembung tersebut bisa menyala saat disulut api, sama seperti kentut.

 

Penutup


Perlu diingat tulisan ini tidak dibuat sebagai bahan kritik-otokritik. Atau sebagai upaya kritik membangun. Tidak. Selanjutnya ini bukan upaya atribusi, karena mereka sudah melakukan itu pada diri mereka sendiri. Di sini saya tidak berusaha menampilkan diri sebagai sesuatu yang benar atau terpisah, karena mungkin saya juga tengah membicarakan diri saya sendiri. Identifikasi di atas bukanlah usaha untuk memberikan standar pada anarkisme, membedakan antara mana anarkisme “sejati” dan mana yang bukan, apa lagi mengusulkan sintesis baru. Tujuan saya yang sebenarnya adalah: “untuk membuat sesuatu yang memalukan menjadi lebih memalukan lagi adalah dengan cara mempublikasikannya”[13]. Sebagai penutup saya menyampaikan salam hangat buat kawan-kawan yang tidak sensitif-sensitif amat, tidak butuh pegakuan apa lagi atribusi, yang mengusung kebebasan dan kesetaraan tanpa batasan apapun. Saya punya captikus yang bisa dibagi saat bertemu.

 

 

 

Sario, 19-12-2018



[1] Mereka yang terinfluence dengan Situasionist International

[2] Murray Bookchin. 1995. Social Anarchism or Lifestyle Anarchism: An Unbridgeable Chasm. The Anarchist Library. Pdf version. Diakses pada: https://theanarchistlibrary.org/library/murray-bookchin-social-anarchism-or-lifestyle-anarchism-an-unbridgeable-chasm

[3] Bob Black. 1997. Anarchy after Leftism. The Anarchist Library. Pdf version. Hal.25. Diakses pada: https://theanarchistlibrary.org/library/bob-black-anarchy-after-leftism

[4] Sebuah fenomena di mana semut tentara, terpisah dari kelompok karena kehilangan arah feromon dan mulai mengikuti satu sama lain, membentuk kelompok besar yang terus-menerus berputar-putar dalam bentuk lingkaran sampai semut-semut tersebut mati kelelahan. Baca lebih lanjut: Schneirla TC. 1944. A Unique Case Of Circular Milling In Ants, Considered in Relation to Trail Following and the General Problem of Orientation. American Museum novitates. No. 1253. Pp:1–26.

[6] Term ini banyak berseliweran pada status dan komen-komen di media sosial. Pada awalnya saya berpikir bahwa ini adalah upaya satire dari beberapa orang, namun kenyataannya term ini mewujud, dan sepertinya menarik untuk dibahas. Inilah yang saya sebut sebagai anarkis wikipedia. Golongan infantil yang nampak radikal, tapi terlalu pengecut untuk sekedar membela argumentasinya saat dikritik, yang medasarkan verifikasi informasi hanya berdasarkan wikipedia. Saya curiga para anarkoh ini adalah fanbasenya SID, Marginal, dll. Semoga saya benar. 

[8] Anarko-komunisme paling tidak disepakati bermula dari publikasi Carlo Cafiero berjudul Anarchy and Communism (1880).

[9] Lihat dalam: (1) Ken Knabb. 1976. The Society of Situationism. Diakses pada: http://www.bopsecrets.org/PS/situationism.htm   lihat juga dalam: (2) Jan D. Matthews. 2005. An Introduction to the Situationists. https://theanarchistlibrary.org/library/jan-d-matthews-an-introduction-to-the-situationists

[10] Ini adalah teori yang diutak-atik oleh SI berdasarkan teori Marx dan Lukacs. Lihat dalam: Jean Garnault. 1966. The Root Structures Of Reification Jean Garnault. Internationale Situationniste #10 (March 1966).  https://www.cddc.vt.edu/sionline/si/reification.html

[11] Lihat dalam: (1) Guy Debord & Gil J. Wolman. 1956. A User's Guide to Détournement Les Lèvres Nues #8 (May 1956). Diakses pada: https://www.cddc.vt.edu/sionline/presitu/usersguide.html dan (2) Situasionist International. 1959. Détournement as Negation and Prelude Internationale Situationniste#3. Diakses pada: https://www.cddc.vt.edu/sionline/si/detournement.html

[12] Lihat dalam: Tiqqun. 2010. The Cybernetic Hypothesis. https://theanarchistlibrary.org/library/tiqqun-the-cybernetic-hypothesis.

[13] Mustapha Khayati (Situasionist International) dan mahasiswa-mahasiwa di Strasbourg. 1966. Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa. Dipertimbangkan Dalam Segi Ekonomi, Politik, Psikologi, Seksual Dan Khususnya Aspek Intelektual, Dengan Sebuah Proposal Sederhana Untuk Mengobatinya.

You Might Also Like

0 comments