PRIMATA, EVOLUSI, ANARKI(SME) (Bagian 1)
Tanggapan atas Bima Satria Putra[1]
[Tulisan ini sebelumnya telah dipubikasikan di anarkis.org, namun dipublikasikan ulang karena saya kurang kerjaan :)]
sumber: www.spreadshirt.com |
Oleh: Terrik Matahari
Pendahuluan
Membaca tulisan Bima yang berjudul: “Primata, Hierarki, Revolusi” membuat saya sampai pada kesimpulan bahwa Bima
tidak mengerti dengan apa yang ditulisnya. Kenapa? Pertama, dengan menggunakan cocokologi
Bima berusaha mengait-ngaitkan perilaku sosial simpanse dengan perilaku sosial
manusia, lebih buruk lagi dengan mengatakan perilaku agonistik simpanse sebagai
upaya pembebasan, ini aneh sejak ia sendiri mengatakan bahwa ada sistem
hierarki pada kelompok simpanse. Kedua,
dengan mengklaim diri sebagai seorang darwinian, Bima mereduksi evolusi hanya
pada mekanisme seleksi alam. Dalam sub judul kedua; Belajar Dari Primata, alih-alih
menjelaskan apa saja yang dapat dipelajari, Bima malah menjelaskan secara serampangan
soal evolusi. Karakter reduksionis dalam tulisannya hampir ditemukan dalam
keseluruhan teks. Ketiga, dengan menggunakan judul yang genit
dan teks layaknya jargon aktivis, Bima jatuh pada glorifikasi anarki(sme)[2]. Ini
adalah semangat idealisme buta atas anarki(sme), kalau mau jujur saya menemukan
spirit mesianistik ditulisan
tersebut. Seakan-akan anarki(sme) adalah nubuat dan Bima adalah nabinya.
Namun saya secara pribadi berterimaksih pada
Bima yang lewat artikelnya telah memberikan ruang untuk diskusi, meskipun
membutuhkan waktu hampir 6 bulan untuk menuliskan tanggapan sejak artikelnya
dipublikasi. Saya pertama kali membaca artikel ini akhir bulan Februari 2017,
beberapa hari sebelum keberangkatan menuju 2 kepulauan paling utara Sulawesi.
Terbatasnya waktu menyebabkan kesempatan menuliskan tanggapan ini tidak
kesampaian. Tapi setelah beberapa minggu yang lalu, akhirnya tanggapan ini bisa
dituliskan. Saya memulainya dengan gambaran singkat soal primata dan etologi,
dalam upaya mengenal –meminjam kalimat Bima– : “saudara jauh kita”.
Dalam artikel
ini saya tidak bermaksud untuk membahas secara detail soal laporan pembunuhan
simpanse dalam satu kelompok yang sama, yang menjadi dasar penulisan artikelnya
Bima. Namun lewat artikel ini saya ingin menunjukan kekeliruan perspektif Bima,
serta ingin mengusulkan apa yang bisa kita pelajari dari teksnya, sekaligus
membangun diskusi terkait evolusi tentu saja dalam perspektif subjektif saya
sebagai penulis, jika kemudian ini dianggap perspektif anarkis, itu urusan
belakangan. Lagipula saya tidak mencoba menawarkan sesuatu yang baru dalam
tulisan ini. Khusus soal evolusi, saya mengajukan beberapa pertanyaan, yaitu: apa
relevansi evolusi bagi anarki(sme)?, apakah teori ini dapat dirangkul dan
hal-hal apa saja yang dapat diambil darinya?, atau apa saja yang perlu
dicurigai?, serta adakah peluang untuk membawanya ketataran praksis?.
Primata, etologi dan evolusi
“No
matter what you do. You'll never be one of them. You are Ape.”
(Caesar – War For The Planet Of The Apes)
Primates dalam
bahasa latin berarti yang pertama, terbaik dan mulia. Secara taksonomi terpisah
dalam 2 kelompok yaitu Strepsirrhini (Prosimians) dan Haplorhini (Simians);
manusia dan simpanse masuk di dalamnya. Walau berbagi famili yang sama;
homonidae (kera besar), keduanya kemudian berpisah ke dalam genus yang berbeda.
Sebagai sebuah ordo, primata terdiri dari kurang lebih tiga ratusan spesies,
dan terus bertambah akibat proses spesiasi yang terus berlangsung dan review taksonomi. Kera (ape) dan monyet (monkey) adalah dua hal yang berbeda, tapi sangat umum digunakan
secara salah seperti yang dilakukan Bima. Kera merupakan anggota super famili Hominoidea dan terdiri dari 2 famili:
Hylobatidae dan Homonidae, yang kemudian kita kenal sebagai kera besar (great apes): manusia, simpanse,
orangutan, gorila dan bonobo. Dan kera kecil (laser apes): gibon dan siamang (owa jawa termasuk di dalamnya).
Sedangkan monyet terdiri dari monyet dunia lama (Old World monkeys) dan monyet dunia baru (New World monkeys), di Indonesia, monyet hitam sulawesi (Macaca nigra), bekantan (Nasalis larvatus) dan lutung (Trachypithecus auratus)
termasuk dalam monyet dunia lama. Manusia dan simpanse pada akhirnya berpisah
pada tataran genus; Homo dan Pan.
Penelitian perilaku hewan umumnya
dilakukan untuk memahami pola aktivitas, fungsi perilaku, faktor yang
mempengaruhi, hubungan dengan ekosistemnya, bahkan lebih jauh lagi untuk
memahami proses evolusi. Kedekatan taksonomi dengan manusia, membuat penelitian
mengenai non human primates meningkat
dalam beberapa dekade terakhir. Saat ini penelitian pada ordo primata, tidak
hanya menjadi fokus penelitian pada bidang biologi, ekologi dan etologi, tapi
meluas pada bidang ilmu psikologi, antropologi, komunikasi hingga neurosains.
Hal ini didorong bukan karena uniknya perilaku primata, tapi lebih pada
anggapan kemiripan perilaku mereka dengan manusia[3].
Para peneliti terus-menerus dikejutkan dengan perilaku kera dan monyet yang
menunjukan seberapa dekatnya perilaku mereka dengan perilaku manusia, dan
sebaliknya. Data-data ini tidak hanya berguna untuk memahami perilaku mereka
dalam upaya pelestarian, tapi lebih dari itu untuk memahami asal-usul manusia
itu sendiri. Mengetahui akar kelompok sosial, agresi, komunikasi, proses
kognitif, aktivitas seksual, dll. Oleh para darwinis sosial data-data tersebut
digunakan untuk melegitimasi persaingan, hierarki, dominasi dan keistimewaan
“kelompok” tertentu sebagai konsekuensi nyata dari proses evolusi. Hal ini akan
coba saya diskusikan kemudian.
Tahun 60-70-an terjadi perubahan besar pada ilmu
etologi, dari ilmu perilaku hewan klasik yang hanya melihat murni pada perilaku
spesies hewan tertentu, berkembang menjadi etologi dengan metode komparatif.
Metode ini berasumsi bahwa perilaku spesies hewan (khususnya perilaku sosial)
bisa dikomparasikan dengan perilaku spesies yang lain, khususnya manusia. Tahun
1970 John H. Crook menerbitkan sebuah makalah yang membedakan etologi
komparatif dari etologi sosial, pada tahun yang sama,
Robert Ardrey menerbitkan buku
berjudul:
The Social Contract: A Personal
Inquiry into the Evolutionary Sources of Order and Disorder. Buku
ini
secara garis besar merupakan penyelidikan perilaku hewan dan perbandingannya
dengan perilaku manusia sebagai sebuah fenomena yang sama. Tahun 1975 terbit
buku Sociobiology: The New Synthesis
yang ditulis oleh Edward. O. Wilson, yang menegaskan
bahwa fenomena perilaku dari yang sederhana sampai yang komples dapat
dijelaskan sebagai fenomena biologis, serta menjelaskan hubungan perilaku dan
genetik. Setahun kemudian buku The
Selfish Gene yang ditulis oleh Richard Dawkins terbit, walau topiknya
banyak membahas soal determinisme gen, dalam buku ini juga dibicarakan tentang
altruisme dan mutualisme, dalam buku ini disebutkan bahwa keegoisan gen dapat
menimbulkan keegoisan perilaku. Sebenarnya sebelum adanya perubahan pada
pendekatan etologi, telah terjadi perdebatan pada beberapa cabang ilmu yang
terpengaruh dengan teori evolusi Darwin, misalnya aliran strukturalisme dan
fungsionalisme pada psikologi, serta teori evolusionisme dan teori difusionisme
pada antropologi namun keterbatasan saya dalam bidang ini, membuat saya tidak
banyak membahasnya.
Pada tahun ini, sebuah publikasi penelitian etologi
komparatif[4]
dipublikasikan pada International Journal
Of Primatology dengan judul Intragroup
Lethal Aggression in West African Chimpanzees (Pan troglodytes verus): Inferred
Killing of a Former Alpha Male at Fongoli, Senegal. Februari 2017. Volume 38,
Issue 1, pp 31–57. Artikel ini kemudian dimuat dalam sciencealert.com[5].
Publikasi ini sebenarnya adalah laporan dari pengamatan pembunuhan anggota
kelompok simpanse yang terjadi tahun 2013. Laporan ini kemudian booming dan menarik perhatian jurnal
bergengsi Nature serta dibahas oleh National Geography, The Los Angeles Times, The Boston Globe, The
Washington Post, Daily Mail dan USA Today. Hampir semua pembahasan laporan ini berujung
pada pertanyaan, bagaimana hubungannya dengan manusia? Apakah ini bukti bahwa
kekerasan dan pembunuhan adalah natural seperti yang ditunjukan oleh simpanse
yang secara taksonomi dekat dengan manusia dan berbagi akar evolusi yang sama?
Dapatkah hal ini menjelaskan akar perilaku “perang”, hierarki dan dominasi pada
manusia?.
Laporan
fenomena pembunuhan seekor simpanse oleh kawanan simpanse dalam satu kelompok
yang sama menjadi kajian yang menarik bagi primatog, psikolog dan antropolog,
bahwa simpanse sebagai hewan agresif dan diketahui dapat membunuh simpanse
lainnya di luar kelompok, ternyata terdokumentasi juga dapat membunuh individu
dalam kelompoknya sendiri. Pertanyaan kemudian muncul, apa penyebabnya? Sampai
saat ini terdapat banyak jawaban sementara oleh para peneliti; dorongan
seksual, persaingan sumberdaya, kepadatan populasi, hierarki dominasi, pengaruh
manusia, dll.
Reduksionisme dan konsekuensinya
“The spectacle
inherits the weakness of the Western philosophical project, which attempted to
understand activity by means of the categories of vision, and it is based on
the relentless development of the particular technical rationality that grew
out of that form of thought. The spectacle does not realize philosophy, it
philosophizes reality, reducing everyone’s concrete life to a universe of
speculation.” (Guy Debord – Society Of The Spectacle)
Ternyata
tidak hanya peneliti yang tertarik dengan laporan pembunuhan simpanse tersebut. Hal ini ternyata juga menarik buat Bima. Namun berbeda dengan peneliti yang datang dengan berbagai
pertanyaan dan hipotesis, Bima datang dengan beberapa jawaban dan kesimpulan.
Dengan mencoba mengkorelasikan antara laporan pembunuhan simpanse dengan
gerakan pembebasan, dan atau anarkisme, ia memulai analisisnya dengan evolusi, khususnya pada primata. Namun tanpa berhasil membahas soal evolusi, Bima
langsung melompat pada pembenaran-pembenaran spekulatif mengenai sebab-musabab
hierarki, penindasan, dan ketidakadilan, kemudian dengan semangat idealisnya
sampailah ia pada kesimpulan yang juga
sangat spekulatif. Dari teks Bima, evolusi menjadi satu-satunya jawaban.
Mengakui
ketidak-tahuannya tentang relevansi antara primatologi dan bidang ilmu
sosial-humaniora, alih-alih bertanya, Bima langsung berspekulasi. Dengan klaim
darwinis Bima berpendapat:
“Aku tidak tahu bagaimana
relevansi primatologi pada bidang ilmu sosial-humaniora. Tetapi sebagai seorang
darwinis, aku percaya bahwa fenomena-fenomena yang bisa diamati pada saudara
jauh kita seperti simpanse, gorila dan orang utan punya korelasi langsung
dengan apa yang kita lakukan. Hal ini menjadi semacam cermin bagi perilaku
kita.”
Saya paling tidak
mengidentifikasi ada dua hal yang patut dicurigai dalam paragraf ini:
reduksionisme dan idealisme. Sebagai sebuah metode, reduksionisme mungkin bisa
digunakan sebagai langkah awal, dalam upaya menjelaskan fenomena dengan
terlebih dahulu membaginya dalam bagian-bagian kemudian dianalisis. Tapi apakah
sebagian dapat menjelaskaan keseluruhan? Belum tentu. Reduksionisme umumnya
berakhir pada pemaknaan realitas yang keliru. Kalau tidak berujung pada
overgeneralisasi, jatuh pada oversimplifikasi.
Kompleksitas organisme termasuk manusia
tidak mungkin dijelaskan berdasarkan satu fenomena, ini mengabaikan keragaman
variabel dan peluang lainnya. Oleh karena itu, kalaupun digunakan,
reduksionisme sekali lagi tidak lebih dari upaya awal, dan tidak
bisa digunakan sebagai satu-satunya jalan, bahkan sebisa
mungkin dihindari. Jika kita tarik pada ranah gerakan sosial misalnya, saya
pikir kita akan banyak menemukan implikasi reduksionisme dalam gerakan sosial
di Indonesia, misalnya gerakan penolakan reklamasi atau penolakan tambang yang
hanya menyasar kesalahan prosedural perijinan dan kebijakan (AMDAL, ijin
lingkungan, Perpres, UU, dll) sementara sasaran di luar itu adalah haram. Umum
sekali kita mendengar jargon “salah urus negara” pada kampanye NGO dan gerakan
mahasiswa dalam menanggapi isu lingkungan. Seakan-akan, semua kerusakan
lingkungan disebabkan oleh kesalahan kebijakan semata. Jangan heran kemudian,
keluarnya kebijakan baru yang dianggap ramah lingkungan dan populis malah tidak
akan berdampak apa-apa. Kesalahan kebijakan akan dijawab dengan kebijakan yang
dianggap benar. Bahayanya tidak sampai di sini, apa yang setelahnya lebih
berbahaya. Gerakan rakyat yang diorganisir (baca:digembalakan) dikanalisasi
lewat upaya-upaya hearing dan
menunggu kebijakan-kebijakan yang tidak pernah bijak sedari awal,
sejak ia berada dalam logika negara dan kapitalisme itu sendiri.
Indonesia sendiri dengan ragam
budaya, lansekap, dan ekosistem, tentu memiliki keunikannya masing-masing.
Ketika kita menemukan kesamaan masalah, mengingat geografi dan spasial bukanlah
pembatas bagi ekspansi kapital, dan penyeragaman adalah bagian dari ekspansi
kapital itu sendiri, maka meminjam term Renzo Navatore, kita perlu “The Revolt of the Unique”, yang tidak
seragam, dan mengejutkan. Kalau kita kemudian melihat bahwa otoritas itu tampak
dengan berbagai varian, maka sepertinya salah satu yang harus diupayakan adalah
menciptakan sebanyak mungkin variasi perlawanan sekaligus menciptakan
ruang-ruang bebas yang otonom. Atau meminjam term grup informal anarkis
insureksionis; polymorphism;
keberagaman bentuk perlawanan, tanpa standarisasi dan ukuran tertentu. Yang
penting di sini adalah mengkoneksikan perlawanan tersebut tanpa upaya
menunggalkannya. Karena berbeda dengan Leninis yang berusaha menyatukan kelas
pekerja ke dalam satu partai tunggal, anarki(sme) melihat sebaliknya, seperti
kalimat Enzo Martucci: “Anarchy is the
aggregation of innumerable and varied forms of life lived in solitude or in
free association”. Upaya generalisasi dan atau simplifikasi, tidak lain
adalah pengerdilan kemungkinan-kemungkinan. Ini adalah karakter aktivisme, para
poser dan hipster yang akan berkata: “harusnya gampang dibikin susah, go ahead
aja!!!” dan menutup pembicaraan dengan:“entar juga lo paham” saat tidak bisa
menjelaskan lebih banyak.
Hal ini yang kemudian saya lihat
pada generalisasi Bima dengan lebih banyak pada upaya klaim ketimbang upaya
penyelidikan. Coba lihat pada artikelnya yang lain: “Aksi Petani Kendeng Yang
Anarkis[6].”
Berangkat dari komparasi dua gerakan protes yang berbeda (protes di Seattle dan aksi mencor kaki
petani Kendeng) Bima sampai pada kesimpulan (kalau tidak bisa dibilang klaim)
bahwa kedua aksi tersebut secara prisip sama: anarkis. Kenapa ini sebuah upaya
generalisasi dan over simplifikasi? Pertama, apakah Bima lupa bahwa tidak semua
peserta aksi di Seattle adalah anarkis. Bahkan black block dikecam oleh peserta aksi lainnya yang kompromis.
Kedua, walaupun terkesan memiliki pandangan yang sama soal kapitalisme,
terdapat berbagai varian kepentingan di dalamnya. Ini terlihat dari beragam
latar belakang peserta protes, Bima lupa menuliskan bahwa terdapat kelompok NGO
yang secara terang-terangan menolak anarki(sme) yang terlibat dalam aksi
tersebut di Seattle tersebut.
Selanjutnya, terdapatnya varian tuntutan yang beragam mulai
dari upaya reformasi dan transparansi ekonomi dunia, penghapusan WTO, kenaikan
upah buruh, keadilan iklim, keadilan untuk petani, dll. Walaupun penghapusan
WTO juga adalah isu yang diusung para anarkis, tapi keterlibatan kelompok
anarkis sebenarnya lebih pada interupsi dan upaya menggagalkan pertemuan
tersebut.
Di sisi lain Bima lupa bahwa aksi
cor kaki adalah rangkaian dari aksi-aksi sebelumnya yang sangat kompromistis
dan hierarkis. Bima sendiri mengakui dalam tulisan tersebut bahwa gerakan
petani Kendeng masih belum keluar dari logika negara. Bagi saya aksi cor kaki
adalah bentuk perlawanan simbolik sekaligus manifestasi dari sebuah solidaritas
horisontal. Aksi ini bagaimanapun tidak kehilangan kadar “revolusionernya”. Ini
adalah varian aksi alternatif yang lebih bernyawa dari pada aksi parade yang
dipimpin satu korlap, dan berbaris rapi seperti tentara. Namun dengan mengklaim
bahwa aksi tersebut sebagai aksi anarkis, ini mengkerdilkan definisi aksi
alternatif tersebut, sekaligus mereduksi pemahaman soal anarkis. Menurut saya,
tindakan anarkis haruslah didefinisikan oleh tindakan itu sendiri, bukan oleh
klaim dan seperangkat definisi para ahli dan atau lewat standarisasi oleh
kalangan anarkis sendiri. Dengan mengidentifikasi kemiripan simptom tertentu,
Bima mengkonstruksi pemahaman yang keliru. Jika kita menggunakan analogi
penyakit, Bima mengatakan bahwa Yerri sakit muntaber hanya karena Yerri
mengalami muntah-muntah, padahal muntah-muntah tersebut akibat mabuk ciu oplosan di kosan temannya semalam.
Ketika saya berasumsi bahwa kemungkinan aksi Kendeng
dapat dianalisis menggunakan kacamata Hardt dan Negri: multitude, seorang kawan
(M.S) yang sempat bersama-sama petani Kendeng mengatakan sangat mubasir
menggunakan kacamata multitude. Menurutnya walaupun aksi petani Kendeng, dalam
penampakannya mengandung karakter yang sama seperti multitide (subjek yang
beragam, non hierarkis, partisipatif, non-violence), tujuan utama dari petani
Kendeng sangatlah parsial dan umumnya hanya menyoal pada kebijakan tertentu.
Dengan menggunakan jargon populer “Alam
Adalah Ibu”, dan terus dikampanyekan media, menjadikan isu ini menarik bagi
banyak kelompok. Disini letak menariknya, bahwa kampanye tersebut menyediakan
medium bagi hasrat tiap-tiap individu untuk mengambil bentuk-bentuk solidaritas
yang beragam. Aksi ini adalah medium eskperimentasi yang mesti dihargai.
Saya tidak memandang remeh
gerakan petani Kendeng, ini adalah bukti nyata perlawanan dan kenapa
kapitalisme plus negara secara bersama-sama harus dilenyapkan. Perjuangan
petani Kendeng, mesti mendapatkan dukungan dalam bentuk solidaritas horisontal.
Saya memahami anarki(sme) bukanlah sebuah gerakan elitis yang kaku, gerakannya
dapat dilakukan dengan bentuk apapun, selama itu adalah manifestasi perlawanan
atas otoritas, perengkuhan kebebasan, dan disaat yang bersamaan sebagai upaya
penciptaan asosiasi bebas yang otonom.
Kembali
ke kutipan dari teks Bima di atas, saya secara pribadi mengakui adanya hubungan
(korelasi) dan pengaruh timbal-balik antar organisme serta organisme dan
lingkungannya, sebagai suatu kontinum ekosistem. Karenanya tidak hanya primata,
tapi kalau bisa dibilang seluruh organisme saling berhungan dan mempengaruhi
satu sama lain tidak terkecuali manusia. Namun perlu diingat bahwa segala
sesuatu yang berpengaruh pasti memiliki hubungan, namun sesuatu yang memiliki
hubungan belum tentu memiliki pengaruh. Hubungan itu dua arah sementara
pengaruh itu satu arah. Sepertinya Bima menggunakan kata korelasi tidak untuk menggambarkan derajat hubungan tapi untuk
menunjukan derajat similaritas, dua hal yang berbeda namun sering digunakan
untuk menjelaskan hal yang sama. Kerena menurut saya apa yang mau disampaikan
Bima pada paragraf tersebut adalah: apa
yang teramati pada perilaku simpanse, juga merupakan perilaku kita. Hal ini tidak
hanya naif, ini adalah fatal karena pertama, Bima menafikan keunikan evolusi
yang ada pada masing-masing spesies primata. Kedua, dengan begitu Bima menerima
secara mentah-mentah doktrin darwinis sosial yang beranggapan bahwa perilaku
spesies hewan dapat dijadikan patokan bahkan diesktrapolasikan pada kehidupan
manusia. Dengan begitu maka Bima seperti para darwinis sosial akan mengekalkan
hierarki, dominasi dan kompetisi sebagai kondisi yang terberi sebagai hasil
evolusi.
Sepertinya
Bima memang tidak serius dengan penulisan artikel ini. Terlalu banyak
generalisasi, misalnya ia menganggap bahwa simpanse, gorila dan orangutan
adalah sama. Entah Bima lupa atau memang tidak tahu, bahwa orangutan sendiri
terdiri dari dua spesies (saat ini diidentifikasi 3 sub spesies) yang tersebar
di 2 pulau yang berbeda (Sumatera dan Kalimantan). Ketiga spesies kera besar
yang disebut Bima juga memiliki perilaku dan sistem sosial yang berbeda.
Bagaimana mungkin menyama-ratakannya? Tapi sepertinya ini adalah konsekuensi
dari karakter spekulatifnya. Coba kita lihat bagaimana Bima dengan mudahnya
menyimpulkan sesuatu yang sama sekali masih abstrak, dan tanpa penyelidikan:
“Laporan pembunuhan Foudouko
juga tidak merinci bagimana perilakunya ketika berkuasa. Tapi ada beberapa hal
penting yang dapat kita pelajari: kita tahu bagaimana nasib para tiran.
Kemarahan massa adalah teror di atmosfer, dalam rupa badai dan petir di tengah
malam. Sehingga tiran tidak akan tidur nyenyak dengan selimut tebal hangatnya,
bahkan untuk mantan tiran sekalipun. Terkutuklah Foudouko karena menikmati
pemberontakan simpanse muda.”
Penyerangan,
perkelahian, bahkan pembunuhan dalam perilaku hewan tergolong dalam perilaku
agresi, sebagai bentuk aktivitas agonistik.
Kalau menggunakan pandangan biologi apa lagi evolusi, ini alamiah, sebagai
respon yang didorong banyak hal seperti mekanisme pertahanan diri, kompetisi
sumberdaya, predasi, perilaku parenting,
atau reproduksi. Tidak ada faktor tunggal yang mendorong agresi. Agresi bahkan
disebut sebagai salah satu mekanisme adaptasi, contohnya induk ayam akan
menyerang saat merasa anak-anaknya dalam bahaya, atau gorila akan menyeringai
dan menepuk-nepuk dada saat merasa terancam.
Selain faktor eksternal seperti disebutkan di atas,
perilaku agresi dapat disebabkan oleh faktor internal seperti pengaruh hormonal
dan aktivitas otak. Dalam penelusuran lebih lanjut tentang agresi ditemukan
bahwa ada beberapa hal yang mendorong agresi yaitu dorongan psikologi dan
proses belajar (kongnitif). Bukti-bukti arkeologis menyebutkan bahwa perang
sebagai bentuk agresi terhitung baru dalam sejarah umat manusia, perang
berkaitan dengan munculnya peradaban, agrikultur, dan stratafikasi sosial[7]
sehingga dapat disimpulkan bahwa perang pada manusia adalah hal yang
dipelajari, dan sama sekali bukanlah sesuatu yang alami. Manusia sangatlah kompleks, sekompleks hewan yang
lain. Tidaklah berlebihan jika saya mengutip kalimat Konrad Lorenz: “Humans are among the very few mammals who
will kill their own kind without the provocation of extreme hunger.” Sampai
saat ini, manusia adalah mamalia yang dapat melakukan konflik dan kerjasama
diwaktu yang bersamaan.
Sebuah
publikasi pada jurnal Nature edisi
538 tanggal 28 September 2016 berjudul The
phylogenetic roots of human lethal violence, mencoba mengusulkan pendekatan
baru mengenai cara memahami akar kekerasan, agresi dan pembunuhan pada manusia
dengan mengkomparasikan ribuan sampel mamalia dan dianalisis menggunakan
kedekatan filogenetik. José María Gómez, dkk dalam
penelitian mereka tersebut, menemukan bahwa kekerasan dan serangan
mematikan terjadi di hampir semua spesies mamalia, walaupun jarang terjadi
namun menunjukan kecenderungan meluas, serangan mematikan ini bervariasi antar
kelompok mamal. Masih menurut mereka, data kekerasan
dan serangan mematikan pada manusia memang menunjukan kesamaan dengan kelompok
kera besar lainnya. Namun kekerasan pada manusia meningkat dari masa paleolitik
sampai saat ini. Kesimpulannya menarik, bahwa semakin manusia terorganisasi
maka semakin tinggi tingkat kekerasan. Ini ditunjukan dengan peningkatan
kekerasan dari masa band menuju tribe, sampai pada oranisasi masayarakat
yang lebih besar. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa setelah ada negara yang lebih besar dengan istitusi hukum dan
aturan-aturan yang mengikat, pada akhirnya bisa
menurunkan tingkat kekerasan. Penelitian tersebut pada dasarnya mengabaikan perang dunia 1 dan dunia 2
saat perang mencapai puncaknya, atau bagaimana Soeharto, Pol Pot, Idi Amin, dan
lainnya melakukan kekerasan dan pembunuhan atas nama stabilitas dan keamanan
negara.
***
Saya
pada dasarnya sepakat dengan Bima bahwa tiran
seharusnya dilawan, bahkan jangan sekalipun memberikan peluang bagi lahirnya
tirani. Tapi menganalogikan pembunuhan anggota kelompok oleh sesama simpanse
sebagai tindakan pembebasan atas tiran adalah keliru. Saya tidak melihat ada
upaya pembebasan dalam kasus pembunuhan simpanse dalam kelompok ini, malah
lebih pada arah kompetisi atau mungkin mekanisme pertahanan kelompok, dan ini
pun belum pasti. Toh, tetap yang diuntungkan dalam kasus ini adalah David
dengan menjadi jantan dominan dalam group. Ia pun suatu saat nanti pasti akan
digulingkan seperti pendahulunya. Inilah konsekuensi dari sistem hierarki, saat
ranking menjadi faktor penentu terhadap akses sumberdaya.
Memang
banyak hal kompleks dari perilaku sosial simpanse yang menjadi perhatian para
peneliti. Sampai saat ini, diketahui bahwa simpanse memiliki struktur sosial fission-fusion society sehingga jumlah dan komposisi
kelompok sosial berubah sepanjang tahun. Simpanse diketahui juga dapat
membangun pertemanan dengan kelompok di luar kelompoknya, serta mampu membangun
koalisi “politik” yang berguna sebagai dukungan ketika menghadapi agresi. Hal
terakhir tersebut yang menyebabkan peluang menjadi jantan dominan tidak diukur
berdasarkan kekuatan fisik, tapi lebih pada kekuatan membangun koalisi. Selain
itu simpanse juga membangun hubungan berdasarkan kekerabatan nepotistik-toleran,
pola ini berarti bahwa betina bersifat filopatri dan terdapat kerjasama antar
kerabat dalam kompetisi. Seharusnya ini dipertimbangkan Bima sebelum sampai
pada kesimpulan dan klaim. Implikasi dari analogi yang ditawarkan Bima akan
berujung pada perjuangan oposisi, yang cita-citanya adalah reformasi bukan
“revolusi”. Mengganti pemimpin lama dengan pemimpin baru, yang tak kalah
menindasanya.
Secara
metodologi, melihat korelasi aktivitas antar spesies yang berbeda bisa
dilakukan. Tidak hanya etologi, cabang ilmu biopsikologi, yang selain fokus
pada manusia, juga kerap melakukan komparasi perilaku antar spesies. Kita
misalnya bisa melihat bagaimana respon yang ditunjukan owa jawa dan lutung di
Gunung Gede Pangrango ketika dihadapkan dengan ancaman yang sama, macan tutul
misalnya. Atau, Bima mungkin bisa saja iseng
mengkomparasikan bagaimana respon sampel orangutan Sumatera dengan sample
sarjana S1 ilmu komunikasi universitas A ketika dihadapkan dengan ancaman yang
sama misalnya harimau. Tapi akan gagal ketika mengkomparasikan bagaimana respon
sampel orangutan Sumatera dengan sampel sarjana S1 komunikasi universitas A
ketika menghadiri konser Raisa[8].
Hal ini sedari awal rumit karena apa yang mau kita amati, secara kategorial
berbeda.
Kompleksitas otak dan aktivitas sosial manusia
mungkin bisa dikomparasikan dengan kelompok primata yang lain. Tapi
mengekstrapolasikan misalnya perilaku sosial hewan terhadap perilaku sosial
manusia adalah upaya sangat kurang kerjaan. Pada persoalan seks misalnya,
hampir seluruh spesies mamalia melakukan aktivitas seksual hanya untuk
kebutuhan reproduksi[9],
karenannya kita mengenal musim kawin yang ditandai dengan meningkatnya
hormon-hormon tertentu, semisal feromon. Hal ini berbeda dengan manusia yang
memaknai aktivitas seksual tidak hanya sebatas aktivitas reproduksi sehingga
kita bisa “kawin” kapan saja, dan mengapa ada buku seperti kamasutra yang tetap
saja laku di pasaran. Manusia mempelajari aktivitas hewan sekaligus
mempengaruhinya demikian sebaliknya. Beberapa “keunikan” hewan diadopsi dan
dikembangkan oleh manusia, sistem aerodinamis kelompok aves misalnya yang
diterapkan dalam sistem pesawat terbang. “Swarm
intelegensia” sebuah taktik yang populer dari kelompok-kelompok
anti-otoritarian, merupakan hal yang dipelajari dari aktivitas kawanan burung
dan serangga, mutual aid Kropotkin
ditegaskan atas pengamatannya pada beberapa kelompok hewan. Pada masyarakat
tribal yang menggunakan kamuflase dan mimikri merupakan hasil modifikasi dari
perilaku dan ciri fisik hewan.
Walaupun Bima lewat tulisannya menyadari bahwa manusia
tidaklah luput dari proses evolusi, tapi adalah
keliru jika memahami bahwa relasi manusia dengan alam adalah searah, atau alam
dengan begitu mendeterminasi manusia dan segala produk kebudayaannya, karena
harus diingat bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mempengaruhi alam,
memodifikasi bahkan merubahnya. Bahkan beberapa spesies hewan,
proses evolusinya sangat dipengaruhi oleh manusia, sebut saja ngengat Biston betularia yang umum dijadikan
bukti seleksi alam. Dalam ekologi sendiri
dikenal ekosistem alamiah dan ekosistem buatan yang merupakan kondisi ekosistem
yang dipengaruhi oleh manusia, misalnya persawahan, perkebunan, dll[10].
Maka sebagai spesies yang terbilang muda, homo
sapiens adalah satu-satunya spesies yang merubah wajah bumi secera
signifikan lewat aktivitasnya: agrikultur, industri, dll, dengan waktu
yang relatif sangat singkat.
Kausalitas dan Determinisme
“Oh,
you. You just couldn’t let me go, could you? This is what happens when an
unstoppable force meets an immovable object...... I think you and I are
destined to do this forever.” (Joker – The Dark Knight)
Sebenarnya sejak Bima memulai
analisinya menggunakan evolusi Darwin, dan melakukan reduksi yang berlebihan,
lewat penalaran induksi yang fokus pada satu fenomena, kesimpulannya sangat
terperdiksi; kausalitas dan determinisme. Coba lihat apa yang Bima katakan:
“Persaingan
terhadap sumber daya mengajarkan kita rasanya penindasan dan eksploitasi secara
ekonomi-politik. Ketika gudang makanan yang dimiliki oleh segelintir orang dan
dipagari dengan tembok tinggi, sedangkan di luar tembok itu orang-orang mati
kelaparan, kita merasakan ketidakadilan. Ketika lahan yang kita tanami dirampas
sehingga kita tidak menikmati apa yang seharusnya kita tuai, kita merasakan
penindasan.”
Selanjutnya ia meneruskan:
“Anarkisme
lahir dari sini: penindasan dan ketidakadilan. Ia lahir dari cakrawala sosial
dan tidak bisa dibayangkan oleh sebagian orang dengan pemikiran yang mapan.
Jika evolusi pemikiran menghasilkan spesies ide baru, maka anarkisme muncul
karena seleksi alam seperti Darwin bilang”
Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat
dikalimatkan: bahwa dengan adanya persaingan sumber daya, lahirlah penindasan
dan eksploitasi dengan demikian juga menyebabkan ketidakadilan, dari proses ini
kemudian lahirlah anarkisme. Bima menegaskan bahwa anarkisme adalah “spesies
ide baru” hasil dari proses “evolusi pemikiran” melalui mekanisme seleksi alam.
Hal ini tampak masuk akal, sangat historis tapi
tunggu dulu, evolusi pemikiran?, spesies ide
baru?, apakah Bima paham antara perbedaan ontologi dan epistemologi?.
Jelas ini adalah racun Cartesian yang
umum pada borjuis mahasiswa. Walau bicara mengenai perubahan kuantitas dan
kualitas, evolusi mensyaratkan hakikat ontologis. Bahkan psikologi evolusioner
dan kognitif evolusioner sama-sama menekankan pada perkembangan otak mendahului
perkembangan pemikiran dan psikologi. Sekalipun social brain hypothesis yang melihat perkembangan otak terbentuk tidak
semata-mata akibat faktor ekologis namun akibat kompleksitas grup sosial,
menekankan pada perkembangan kapasitas otak. Saya benar-benar bingung dengan
term “spesies ide baru”, apakah Bima
benar-benar paham soal konsep spesies? Saya curiga, jangan-jangan Bima sepakat bahwa “revolusi
mental” dapat dilakukan.
Masuk pada alur kausalitas Bima, menurut saya ini adalah kekeliruan post
hoc propter hoc yang menyatakan bahwa “ini” terjadi sesudah “itu” terjadi
maka “ini” merupakan akibat dari “itu”. Kekeliruannya adalah ketika mengakui
sesuatu yang terjadi berurutan merupakan akibat dari peristiwa pertama. Apa
benar persaingan sumberdaya menjadi satu-satunya penyebab penindasan dan
ketidak-adilan? Jika sumberdaya merupakan muasal persaingan maka bagaimana
menjelaskan praktik sumberdaya komunal yang sampai saat ini masih bisa ditemukan,
bahkan di Indonesia? Atau bagaimana menjelaskan hubungan mutualisme, eusociality[11] dan
perilaku altruistik? Jika kita membenarkan pernyataan Bima di atas, maka kita
mengabaikan kondisi-kondisi lainnya atau dengan begitu kita menegaskan bahwa
persaingan sumberdaya adalah “causa prima” untuk kondisi yang sangat
menjengkelkan hari ini. Atau sekaligus merupakan “dosa asal” bagi umat manusia.
Implikasi terburuk dari paragraf pertama di atas adalah dengan begitu kita akan
bersepakat dengan Hobbes, bahwa kita memang memerlukan negara karena manusia
sedari awal adalah serigala bagi manusia lain.
Penelitian paleoantologi dan antropologi,
menyebutkan bahwa sebaran manusia cenderung mengikuti sumberdaya. Persaingan
umum terjadi, tapi banyak juga yang kemudian melakukan pemanfaatan secara
komunal, ada kerjasama dan mutualisme. Tidak hanya dalam biologi, dalam ekologi
dan antropologi bahkan menyebutkan bahwa persaingan bukanlah satu-satunya
pendorong keberhasilan evolusi. Mungkin sejarah manor dan enclosure di Inggris
dapat memberikan gambaran bagi kita bagaimana sumber daya didistribusikan dan
dibatasi, dan bagaimana hal tersebut dianggap sebagai proses kelahiran
kapitalisme modern. Atau accumulation by
dispossession Harvey dapat membantu Bima melihat bagaimana akumulasi
kapital terjadi pada ruang dan waktu.
Lagipula, saya membedakan persaingan (competition) dan perampasan (grabbing, dispossession, deprivation). Persaingan
mensyaratkan dua inividu atau kelompok dalam akses satu sumberdaya dalam
pemenuhan kebutuhan, sementara perampasan adalah aksi sepihak satu individu
atau kelompok dalam merebut suatu sumberdaya, perampasan tidak mesti
mensyaratkan adanya persaingan terlebih dahulu. Karena misalnya, hutan yang
dimaknai sebagai “ibu” oleh masyarakat Papua, tiba-tiba dirampas oleh
perkebunan sawit yang memaknai hutan sebagai “kapital”. Dengan begitu konflik
di Papua bukan soal persaingan masyarakat Papua dan perkebunan sawit, tapi
adanya perampasan lahan hutan. Dan benar, ini adalah perang sumberdaya antara
masyarakat melawan perusahaan yang di backup
negara. Saya tidak melihat adanya persaingan di sana, saya melihat ada
perampasan dan ada perlawanan.
Saya memahami bahwa konflik sumberdaya yang
dijelaskan Bima bisa digunakan untuk menjelaskan persoalan di pegunungan
Kendeng, Papua, dan hampir semua tempat di Indonesia, yang sementara melakukan
perlawanan atas perampasan ruang hidup. Namun hal ini agaknya kurang cukup
untuk menjelaskan karakter kapitalisme post fordisme hari ini, saat sumberdaya
diproduksi dan direproduksi oleh kapitalisme sendiri (komodifikasi) sementara
persaingan dan “hasrat konsumsi” sebagai motor penggeraknya. Atau bagaimana
menemukan titik serang pada negara yang selalu menampilkan diri sebagai
pelindung. Penjelasan persaingan sumberdaya yang disebutkan Bima juga nampaknya
akan sulit digunakan untuk menjelaskan soal biopower. Jujur, membaca teks Bima
seperti membaca selebaran kaum anarkis atau para Diggers pada abad ke 17.
Selanjutnya jika persaingan sumberdaya yang Bima
maksud kita tarik ke-dalam term ekonomi, maka implikasi berikutnya adalah, Bima
sama seperti marxis yang mengangap bahwa ekonomi adalah basis yang
mendeterminasi suprastruktur. Dengan begitu semuanya tunduk pada logika ekonomi
(corak produksi, relasi produksi, dll), begitu juga dengan politik, budaya,
bahkan negara sebagai salah satu wujud suprastruktur. Saya curiga jangan-jangan
Bima sama seperti Marx yang kemudian memandang negara hanya sebagai
representasi kelas yang berkuasa karenanya memiliki karakter represif dan
eksploitatif, sehingga negara harus direbut dan digunakan sebagai alat revolusi
oleh kelas proletar,[12]
sebagai tahap transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Tapi semoga saya salah
menginterpretasi “penindasan dan
eksploitasi secara ekonomi-politik” yang Bima sampaikan. Atau lebih jauh,
semoga saya tidak suudzon dengan
menganggap hal ini dapat mengarah pada pemikiran para bigot anarko-kapitalisme yang ingin meniadakan
negara demi persaingan bebas dalam ekonomi.
Yang terakhir, jika mengacu pada logika jika-maka
Bima di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anarkismenya Bima hanya akan eksis
dengan adanya penindasan dan ketidakadilan, atau dapat dikatakan bahwa
eksistensi anarkisme mengandaikan eksistensi penindasan dan ketidakadilan. Ini
adalah penegasan oposisi biner saat yang satu mengandaikan yang lain untuk
eksistensinya masing-masing. Sepertinya pandangan Bima sama seperti pemikiran
anarkisme klasik Bakunin yang melihat anarkisme sebagai hubungan antagonistik
dari otoritas alamiah dan otoritas artifisial. Tepat seperti kata Joker pada
Batman untuk menegaskan eksistensinya: “kau melengkapiku..!!.” Bima terperangkap pada logika biner soal apa yang alamiah dan apa yang
tidak, tanpa berusaha mencoba mempertanyakan bagaimana hal tersebut terjadi. Selanjutnya
menurut saya yang kontradiktif di sini, jika kita menggunakan logika Bima
bahwa: anarkisme sebagai sebagai sesuatu yang alamiah lahir dari penindasan dan ketidakadilan, maka
dengan begitu kita juga harus mengakui bahwa ketidakadilan dan penindasan
sejatinya alamiah sebagai konsekuensi dari persaingan sumberdaya alam yang juga
alamiah. Ini letak kesalahan kesekian dari Bima, ia
mereduksi seleksi alam hanya pada persaingan sumberdaya, hal yang sebenarnya
mau ia kritik dalam tulisannya.
Penyakit Idealisme dan Glorifikasi
“I was a
teenage anarchist, looking for a revolution. I had the style, I had the
ambition. I read all the authors, I knew the right slogans....”
(Against Me – I Was A Teenage Anarchist)
Dengan menggunakan teks-teks
layaknya jargon, Bima mengglorifikasi anarkisme:
“Namun
kita belajar dari sejarah panjang kemanusiaan, menikmati kesengsaraan dan
diinjak sepatu tentara, dan pemikiran anarkisme menjadi jawaban atas
permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di sekeliling kita. Karena itu
kita tidak menentang kehendak alam, anarkisme secara naluri adalah sesuatu yang
alamiah. Anarkisme adalah penguatan masyarakat sebagai hasil dari seleksi alam
pemikiran sosial.”
Mau tampak heroik dengan teksnya, Bima malah nampak
mesianistik dengan mengatakan bahwa anarkisme adalah satu-satunya jawaban. Bima
sepertinya lupa, bahwa yang membuat anarki(sme) tetap hidup adalah karena ia
tidak berperan sebagai jawaban namun sebagai pertanyaan. Anarki(sme) tidak
berusaha mengoposisikan dirinya dengan negara dan otoritas seperti yang gerakan
kiri lakukan. Ia melampaui skema tersebut dengan menciptakan alternatif,
anarki(sme) menegasikan hal-hal tersebut.
Sejak kita tahu bahwa negara dan kapitalisme bukanlah
sesuatu yang alamiah, karena dapat ditelusuri jejak genealogisnya maka adalah
konyol menganggap anarki(sme) sebagai sesuatu yang alamiah. Pun jika kita masuk
lewat pengandaian Bima bahwa anarkisme adalah respons alamiah dari penindasan,
maka sekali lagi Bima tidak jauh berbeda dengan para marxis lewat gagasan
komunisme ala partai pelopor. Para marxis dan bahkan Marx sendiri memprediksi
bahwa jurang keterpisahan antara kelas sosial dalam hal ini proletariat dan
borjuis akan berujung pada kehancuran kapitalisme. Sangat umum dikatakan bahwa
masyarakat tertindas akan bangkit dari ketertindasannya, ini alamiah hanya
persoalan waktu. Tapi alih-alih berjumpa dengan revolusi proletariat dan
kehancuran kapitalisme, ia berjumpa dengan kapitalisme yang menjadi-jadi. Apa
masalahnya?’; Kesadaran. Marx kemudian membagi
kesadaran kelas proletariat menjadi dua: class in itself/an sich (kelas
pada dirinya sendiri), dan class for itself/für sich (kelas
untuk dirinya sendiri). Karena proletar sendiri dengan ketertindasannya dinilai
belum sadar maka perlu agen-agen perubahan. Hal yang kemudian oleh Lenin dalam What
Is to Be Done? menyebutkan bahwa kesadaran class in itself sebagai kesadaran serikat buruh (trade union
conciousness) sebagai dasar partai revolusioner. Selanjutnya kita tahu, ia
kemudian menegaskan apa yang sebelumnya sempat Marx sebutkan tentang
kediktatoran proletariat, dan kengerian apa yang terjadi setelahnya. Bima
nampaknya melakukan penelusuran sejarah dengan karakter deterministik dan
mekanik, di mana upaya tersebut mengkonstruksikan alur perkembangan yang
progresif dan searah. Premis ini kemudian diletakan sebagai dasar prediksi masa
depan yang cerah di bawah anarkisme. Saya jadi ingat kalimat aktivis kiri organ ekstra: “toh kapitalisme akan
runtuh akibat kontradiksi internalnya, krisis over produksi akan meruntuhkan
kapitalisme dengan sendirinya, kita cuma butuh kesabaran.”
Menurut saya, anarki(sme) dapat dipahami sebagai ide
dan praktek. Walaupun anarki(sme) menentang dogma dan doktrin absolut, sebagai ide,
anarki(sme) tetaplah merupakan produk pemikiran sehingga kemudian haruslah
dibenturkan dengan kenyataan lewat praktek dan eksperimentasi[13].
Hal ini berbeda dengan anarki, yang merupakan kondisi tanpa kekhususan yang
ideal, anarki adalah big bang itu sendiri.
Di sini saya memilih menggunakan kalimat Hakim Bey untuk menjelaskannya: “Anarchism ultimately implies anarchy — &
anarchy is chaos. Chaos is the principle of continual creation...& Chaos
never died.” Chaos bukanlah kekacauan (disorder) yang antonim dari
keteraturan (order), ini sama seperti membedakan egoism dan selfishness.
Chaos adalah sebuah situasi dan kondisi ketidak-teraturan yang indah, jika
kalian ingin bukti, coba pandangi bintang-bintang, atau jalan-jalanlah ke hutan
apakah kalian melihat ketidak-teraturan atau malah keindahan?
Yang saya mau sampaikan adalah anarki(sme) tidaklah
tunggal, ia memiliki banyak varian, yang menyatukannya adalah anarki itu
sendiri. Bahkan dikalangan anarkis, banyak yang tidak mau melekatkan diri
dengan anarki(sme). Oleh karena itu dengan memahaminya, tanpa ada upaya
glorifikasi bahkan fetisisme, saya yakin anarki(sme) bukanlah sebuah jawaban
tapi seperangkat pertanyaan. Sering kita mendengar penyataan bahwa :Otoritas
berupa negara, insitusi dan lainnya ditentang lantaran memiliki karakter
penindasan, ekspliotatif dan hierarkis. Hal-hal tersebut inheren dalam negara.
Sehinga dapat diparafrasekan “bukan negara namanya kalau tidak ada karakter
penindasan dan ekspoitatif.” Atau untuk lebih mudah, coba sebutkan satu saja
negara di dunia yang tidak memiliki karakter penindasan, eksploitatif dan
hierarkis? Satu saja!!!. Begitu juga dengan kapitalisme. Tapi ini pun menyimpan
bahaya. Sama seperti angsa hitamnya Popper, bahwa misalnya dengan populisme
negara berhasil mengaburkan penindasan dengan dalil kesukarelaan dari
masyarakat, apakah dengan begitu anarki(sme) akan berhenti menolak negara dan
kapitalisme? Atau tarulah misalnya tatanan anarkis telah tercipta, apakah para
anarkis akan duduk santai dan menghabiskan waktu dengan bernyanyi dengan
gembira? Saya pikir tidak.!!.[14]
Anarki(sme) tidak hanya mempertanyakan legitimasi
kekuasaan, hierarki, dominasi, kapitalisme, dll, yang hari ini eksis, juga
tidak hanya mempermasalahkan bagaimana justifikasinya? Menurut saya, anarki(sme)
menentang baik otoritas yang vertikal maupun horisontal, seperti kata Enzo
Martucci: “Anarchists are opposed to
authority both from below and from above. They do not demand power for the
masses, but seek to destroy all power and to decompose tgese nasses into
individuals who are masters of their own lives.” Karenanya, tidak hanya
negara, anarki(sme) menentang segala wujud dominasi dan otoritas, hal ini tidak
dilandasi oleh semangat ressentiment[15],
melainkan pengakuan atas kelemahan serta kekuatan masing-masing individu,
sehingga tiap individu dapat merayakan kebebasan hasratnya dalam upaya
menciptakan ketidakmungkinan yang melampaui baik yang alamiah dan yang tidak.
Dengan begini, maka asosiasi bebas dapat terjadi. Penggunaan kata: “penguatan masyarakat” oleh Bima,
seperti saya sebutkan di atas adalah ciri Marxis-Leninis yang mengandaikan
kepeloporan dan agensi disatu sisi dan di sisi lain meniadakan otonomi
individu.
Saya tidak mempermasalahkan jika
Bima adalah seorang darwinis atau tidak, tidak penting bagi saya, toh itu
pilihanya sebagai individu. Malahan dengan begitu ia mempertegas demarkasi
antara mana kawan dan mana lawan. Seperti kata Wayne
Price: “Kaum anarkis memiliki relasi berbeda-beda
dengan teoritisi mereka. Tidak seperti marxisme dan leninisme, kata anarkisme
tidak diambil dari figur historisnya. Anarkisme tidak memiliki tulisan sakral
yang dapat dibandingkan dengan Kapital atau Negara dan Revolusi. Anarkisme tidak
memiliki masalah dalam menolak error dari pendirinya.” Atau meminjam
kalimat Malatesta: “Aku menyatakan melawan dogmatisme,
karena meskipun diriku tetap kukuh dan yakin terhadap apa yang aku mau, aku
selalu meragukan apa yang aku tahu.”
Inilah mengapa kita tidak bisa menemukan ketunggalan
dalam gerakan anarki(sme). Anarkis-primitifis
dengan menarik mundur penyebab kehancuran manusia dan bumi sampai pada awal
mula peradaban, beranggapan bahwa kehidupan “primitif” jauh lebih baik dari
kehidupan modern. Dengan merujuk pada temuan-temuan arkeologis dan studi pada
masyarakat tribal yang sampai saat ini masih bisa ditemukan, anarkis-primitifis memulai proyek-proyek
“hidup harmoni dengan alam” sekaligus aksi langsung. Ada green-anarkis yang fokus pada gerakan lingkungan dan ekologis. Tapi
jangan lupa ada juga anarkis anti peradaban non primitifis yang
beranggapan bahwa muasal kehancuran manusia dan bumi adalah peradaban itu
sendiri. Tidak sejak ditemukan teknologi pertanian dan industri, tapi sejak
ditemukan api dan bahasa. Dan beranggapan bahwa yang diusulkan primitifis
adalah utopia, sejak kita tahu bahwa kita tidak bisa kembali ke masa berburu
dan meramu. Hal ini tentu akan kontras dengan anarkis-komunis, sindikalis
atau libertarian sosialis, individualis, dan lain sebagainya. Namun
kalau pun ada cita-cita, saya pikir muaranya sama: ketiadaan otoritas, ketidaan
kapitalisme, ketiadaan hierarki, yang ada hanyalah kebebasan dan asosiasi bebas
yang otonom. Tapi apakah cuma sampai disitu?. Masing-masing saya pikir tidak
punya jawaban pasti, itu mengapa sampai hari ini anarkis terus
bereksperimentasi, bukan untuk masa depan tapi untuk hari ini.
Dalam paragraf penutup Bima mengatakan:
”Simpanse
juga merasakan bahwa ketika ada semangat penindasan yang hendak dikembalikan
Foudouko. Sekelompok simpanse muda menolaknya. Adalah insting alamiah untuk
menolak penindasan, untuk menghirup udara pembebasan. Jika simpanse saja mampu
meredamnya, kenapa sebagian besar dari kita, Homo Sapiens yang mengaku
lebih baik ketimbang simpanse, justru pasrah? Ini tidak alamiah”
Kutipan di atas seperti pernyataan “kok anjing saja bisa menunggu dengan
setia sementara manusia yang berpendidikan tidak?”. Sebagai analogi satire ini
ampuh, tapi sebagai pernyaataan ilmiah ini dungu. Jelas ini adalah kesalahan
kategoris. Dari mana Bima tahu ada konsep penindasan pada kelompok simpanse?
Kalau pun ada, apakah sama seperti konsep penindasan pada manusia?. Ini adalah
“argumentum ad ignorantiam” yang umum
pada semangat aktivisme. Sejak awal, Bima telah mengatakan bahwa simpanse
adalah kelompok yang hierarkial. Walaupun absen menjelaskan konsep hierarki
pada simpanse, jelas sekali bahwa seperti saya katakan di atas, yang paling diuntungkan
dengan terbunuhnya Fudoku adalah David sebagai alfamale. Ini jelas berhubungan dengan dominasi, walupun mungkin
terdapat berbagai faktor, tapi saya ragu kalau berkaitan dengan terma
penindasan. Mungkin lebih baik jika Bima mengambil analogi tentang bagaimana kelompok
banteng menyerang kawanan singa untuk menyelamatkan salah satu anak banteng
yang menjadi buruan singa tersebut[16].
Ini menarik ketika banteng sebagai “mangsa”
bersatu melawan balik “pemangsa”. kalau Bima mau tampak lebih heroik
mungkin ini lebih tepat, selain menunjukan bagaimana mekanisme pertahanan
kelompok, penyerangan banteng terhadap kawanan singa ini adalah contoh
pelampauan dari konsep yang alamiah dan yang tidak.
Inkonsistensi dalam teks Bima, memang minta ampun,
disatu sisi ia berusaha menarik kesamaan antara aktivitas sosial simpanse dan
manusia, disisi lain ia menunjukan perbedaan yang tajam. Lihat kalimat Bima
selanjutnya: “Hal ini tidak bisa
dirasakan simpanse berhubung interaksi sosial mereka masih sangat sederhana,
mereka bahkan tidak masuk dalam zaman feodal”. Saya hanya bisa mengerutkan
dahi. Seperti yang saya tekankan di atas, manusia sebagai bagian dari spesies
organisme, pasti memiliki kompleksitas yang unik sama seperti spesies lainnya. Sebagai
pengusung gagasan Bookchin seharusnya Bima paham bahwa om Bookchin sendiri
berpendapat: Complexity and subjectivity
are more than the effects of life; they are its integral attributes[17]. Tidak ada yang lebih baik dari yang
lain, dengan menggolongkan spesies yang berbeda dalam satu kategori tunggal,
ini adalah pengingkaran atas keunikan masing-masing spesies. Seperti analogi
yang diberikan Einstein, tidak mungkin menilai kemampuan seekor ikan dengan
membuatnya memanjat pohon.
Kalaupun ada hal yang perlu kita petik dari evolusi,
itu adalah ragam keunikan yang tercipta darinya. Keseragaman bukanlah hasil
seleksi alam, melainkan hasil dari seleksi buatan; mulai dari keseragaman padi,
keseragaman ayam daging sampai keseragaman hasrat manusia..!!! Bima nampaknya
selalu terjebak pada alamiah dan tidak alamiah, ini membuatnya kurang berimajinasi.
Lagipula apa yang alamiah dari pemberontakan Icarus, Prometheus dan Sisyphus?,
toh mereka tetap berontak, bahkan terhadap para dewa sekalipun. Saya yakin
berbeda dengan Bima yang butuh contoh-contoh dan analogi agar dapat membangun
“kesadaran”, para insurgen di kota Exarcheia, kombatan di Papua, petani di
Kendeng, nelayan di Teluk Manado, Masyarakat Kulonprogo, Sunda Wiwitan, dan di
berbagai penjuru bumi lainnya menjadikan aksi mereka sebagai pijakan untuk
membangun analoginya sendiri.
Catatan:
[3] Ini adalah pandangan umum antroposentris; non human primate dianggap memiliki proto-perilaku manusia. Kalau menurut saya, manusia dan semua spesies secara khusus primata memiliki keunikannya masing-masing dan pada saat tertentu sama-sama berbagi kemiripan perilaku.
0 comments