PRIMATA, EVOLUSI, ANARKI(SME) (Bagian 2)
Tanggapan atas Bima Satria Putra[1]
Sumber gambar: https://merchantofrhetoric.files.wordpress.com/2013/06/aaaaa.png |
Oleh: Terrik Matahari[2]
Jika dalam tulisan sebelumnya saya lebih banyak
melakukan kritik secara tekstual pada artikel Bima, pada bagian kedua ini saya
akan coba menjelaskan beberapa hal tentang evolusi yang sangat umum disalah-pahami
dan berujung pada penerimaan atau penolakan yang fanatik. Selanjutnya saya akan
menjelaskan alasan kenapa saya begitu curiga terhadap darwinian serta dengan
tegas menolak darwinisme sosial. Pada bagian akhir tulisan ini saya kembali
mengulang apa yang sebelumnya telah diusulkan oleh beberapa orang mengenai
pelajaran penting yang disediakan oleh evolusi baik sebagai teori maupun
sebagai fakta. Beberapa bahkan oleh para anarkis telah dibawa ketataran praktek
lewat analisis, kritik, dan eksperimentasi. Saya sadar pada akhirnya tulisan
ini tidak dapat menjawab secara jelas beberapa pertanyaan tentang evolusi yang
saya ajukan dalam tulisan sebelumnya. Karenannya menurut saya, diskusi lebih
lanjut sangat dibutuhkan. Tentu saja bukan untuk menambah ruwetnya perdebatan
soal evolusi, tapi untuk memaksimalkan potensi biologis kita yang unik.
Apa Yang Perlu Dicurigai Dari Evolusi Darwin
“Thank you,
honey, for opening my eyes. I can't wait to see what evolution will make next.
Maybe a bird with a people face or a bear with pants on!” – (Marge Simpson -The Simpsons episode The
Monkey Suit)
Benar Darwin yang mempopulerkan teori evolusi
dengan mekanisme seleksi alam[3].
Lewat pengalamanya berlayar dengan kapal Beagel, pengamatan di Kepulauan Galapagos,
serangkaian eksperimentasi, pengumpulan spesimen serta korespondensi dengan
beberapa orang termasuk Alfred Russel Wallace, Darwin menyajikan teori evolusi
secara terstruktur dan menjelaskannya sebagai sebuah proses perubahan organisme
yang berlangsung secara terus-menerus dan tanpa tujuan tertentu. Menurut Ernst
Mayr (2001) ada 5 hal pokok yang mau disampaikan Darwin dalam buku opusnya The Origin Of Species[4]: (a) Kehidupan tidak tetap/sama sejak awal keberadaannya [the nonconstancy of species (the basic theory of evolution)], (b) kesamaan leluhur bagi semua makhluk hidup [the descent of all organisms from common
ancestors (branching evolution)],
(c) evolusi
bersifat gradual
[the gradualness of evolution (no saltations, no discontinuities)], (d)
terjadi
pertambahan jumlah spesies [the,
multiplication of species (the
origin of diversity)], (e) seleksi alam sebagai mekanisme evolusi [natural selection].
Dengan ini Darwin menegaskan materialisme pada
cabang ilmu hayati, sekaligus membuka pertanyaan, perdebatan, dan eksplorasi
lebih lanjut dalam perkembangan teori tersebut. Karena sebelum Darwin, pandangan
dominan saat itu bahwa alam sebagai ciptaan sang kreator adalah tetap, di mana
spesies tidaklah berubah semenjak masa penciptaan. Perubahan yang ada adalah
semata-mata rancangan sang kreator dengan tujuan tertentu. Perlu diingat
bahwa Darwin ataupun teori evolusi tidak pernah mengatakan bahwa manusia
berevolusi dari kera, sebaliknya dijelaskan bahwa manusia bersama jenis primata
lainnya berbagi nenek moyang yang sama.[5]
Darwin menganalogikan proses evolusi sebagai percabangan
pohon untuk menggambarkan hubungan antar organisme dan bagaimana percabangannya akibat spesiasi; sebagai
percabangan dan bukan perkembangan liniear. Seperti yang dikatakan Groves dan
Lahr (1994): “A bush not a
ladder”[6]. Pada
hal-hal inilah saya secara pribadi berterimakasih pada Darwin, tapi untuk nge-fans nanti dulu.
Sebagai teori dan fakta, evolusi terus menerus
dibantah dan dibela, bantahan dan serangan tidak hanya datang dari para kreasionis
namun juga datang dari biolog dan naturalis. Kontroversi evolusi semakin
menjadi ketika ia ditarik pada ranah sosial, pada eskistensi manusia itu
sendiri. Saat perdebatan kaum naturalis dan biolog sendiri pada saat itu belum
selesai (misalnya soal seleksi seksual, mutasi, variasi, dll), Thomas Huxley,
Herbert Spencer, Joseph Fisher's, Francis Galton dan Ernst Haeckel menthabiskan
teori evolusi Darwin sebagai sebuah pendekatan sosial; darwinisme sosial. Paham
yang kemudian disambut gembira oleh golongan borjuis liberal Eropa saat itu.
Di kalangan anarkis sendiri banyak yang menerima
teori evolusi Darwin dan hampir semua dari mereka hadir lewat kritikan
dan tawaran; Kropotkin salah satunya. Selain Kropotkin, ada anarkis Perancis;
Jacques Élisée Reclus yang menulis esai berjudul Evolution and Revolution pada tahun 1891[7].
Tapi sekali lagi, berbeda dengan Bima, Kropotkin dan beberapa anarkis lainnya
tidak menerima mentah-mentah evolusi. Kropotkin sendiri melakukan penelitian
yang tidak mudah sampai akhirnya menerbitkan Mutual Aid: A Factor of Evolution pada tahun 1902, sebagai tamparan
bagi para darwinis sosial yang terus mengkampanyekan survival of the
fittest dan mengabaikan egalitarianisme serta kooperasi.
Evolusi yang ditawarkan Darwin sebagai sebuah eksploratori
dan eksplanatori teori sebenarnya sangatlah mudah untuk dipahami. Dengan
penyajian yang konperhensif, disertai data-data dan bukti-bukti pendukung
teorinya, Darwin berhasil menyampaikan pendapatnya dengan sederhana. Tapi
menerimanya adalah persoalan lain. Hal ini disebabkan oleh dogma agama serta
distorsi teori evolusi yang salah satunya disebabkan oleh para darwinis sosial.
Saya secara pribadi paling tidak mengidentifikasi ada 3 hal pokok yang perlu
dipahami sekaligus diwaspadai dari teori evolusi Darwin: pertama seleksi alam, kedua
gradualisme, ketiga darwinisme
sosial.
Seleksi Alam
“We are
not savages. Apes fight only to survive.” (Caesar – War
For The Planet Of The Apes).
Salah satu pokok pemikiran Darwin adalah evolusi
terjadi akibat mekanisme seleksi alam. Selain digunakan untuk menjelasakan
tentang proses adaptasi, spesiasi, dan kepunahan spesies, seleksi alam (natural selection) digunakan Darwin
untuk menunjukan perbedaan dengan seleksi buatan (artificial selection) yang ditemukannya pada domestikasi hewan dan
tumbuhan oleh manusia. Gagasan seleksi alam Darwin sebenarnya sangatlah
dipengaruhi oleh Malthus dengan bukunya An
Essay on Principle of Population[8],
yang mengatakan bahwa populasi bertumbuh secara eksponensial sementara
sumberdaya bertumbuh secara linear. Pertumbuhan populasi yang tidak sebanding
dengan sumberdaya akan mengakibatkan persaingan. Konsekuensinya akan ada yang
bertahan hidup dan ada yang tidak. Seperti yang Darwin tuliskan:
“I think it inevitably follows, that as
new species in the course of time are formed through natural selection, others
will become rarer and rarer, and finally extinct. The forms which stand in
closest competition with those undergoing modification and improvement will
naturally suffer most”[9].
Berdasarkan hal tersebut, Darwin kemudian menggunakan
term struggle for existence[10]
untuk menggambarkan bagaimana kompetisi antar spesies akibat keterbatasan
sumberdaya yang ada. Inilah yang mengantarkannya pada konsep seleksi alam.
Dengan asumsi kenaikan rasio geometris, Darwin melihat bahwa ternyata spesies
memiliki mekanisme yang kompleks dalam merespon mekanisme alam yang juga
kompleks. Sehingga Darwin secara sederhana mengambarkan dua bentuk dari struggle for existence: pertama perjuangan
organisme dengan organisme untuk sumber daya yang
terbatas. Kedua, perjuangan organisme dengan lingkungannya. Dengan data-data
yang ada, ia sampai pada kesimpulan bahwa spesies yang bertahan dalam struggle for existence haruslah:
pertama, spesies yang paling sesuai dan
kedua haruslah terdapat pewarisan sifat-sifat yang menguntungkan.
Dengan kata lain spesies yang tidak mengembangkan adaptasi dan tidak menurunkan
sifat-sifat dan karakteristik yang menguntungkan pada akhirnya punah.
Memang ada kekeliruan seperti yang disebutkan oleh
Bima dalam penggunaan term survival of the fittest yang sebenarnya adalah
frase yang dipopulerkan oleh Herbert Spencer sebagai bapak
darwinisme sosial. Hal ini umum sekali, bahwa konsep seleksi alam sering didefinisikan
sebagai survival ofthe fittest, yang
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “sitasan yang terbugar”. Di mana secara
harafiah berarti yang terkuatlah (fittest)
yang menang. Dalam definisi ini kompetisi dianggap satu-satunya
pendorong seleksi alam.
Berbeda dengan Spencer yang menekankan pada konsep
persaingan murni, Darwin menyatakan bahwa seleksi alam adalah sebuah mekanisme
yang menjelaskan bagaimana populasi dapat berkembang dan bereproduksi
sedemikian rupa sehingga menjadi lebih sesuai (fit) dengan lingkungan mereka dari waktu ke waktu (keturunan dengan
modifikasi). Modifikasi sendiri menurut Darwin mensyaratkan kesuksesan dalam
reproduksi sebagai sarana pewarisan sifat yang menguntungkan. Karenanya seleksi
alam membutuhkan 3 faktor: terdapat variasi sifat atau ciri, terdapat perbedaan
dalam kesempatan reproduksi, dan adanya keturunan yang mewarisi sifat atau ciri
tertentu (saat ini dikenal dengan differential
reproductive). Di sini penting untuk memahami bahwa seleksi alam hanya
salah satu faktor dalam evolusi[11].
Kita pada akhirnya mengetahui ada hanyutan genetik, mutasi, dan rekombinasi gen
yang juga merupakan faktor pendorong evolusi biologis. Seperti yang juga Darwin
katakan: “Furthermore, I am convinced
that natural selection has been the most important, but not the exclusive,
means of modification”[12].
Darwin memang tidak menjelaskan soal pewarisan sifat
secara detail karena saat itu ia tidak
mengetahui publikasi Mendel tentang hukum pewarisan. Namun,
seleksi alam paling tidak mampu menjelaskan bagaimana spesiasi dan kepunahan
dapat terjadi. Stephen Jay Gould dalam upaya kritik terhadap Darwin dengan
sederhana mengatakan: “Natural selection
is a theory of local adaptation to changing environments. It proposes no
perfecting principles, no guarantee of general improvement”[13]. Sebenarnya penjelasan Gould di sini
juga adalah kritik terhadap generalisasi para darwinis sosial yang
mengaplikasikan natural selection
untuk menggambarkan perbedaan perkembangan masyarakat Eropa dan masyarakat di
luar Eropa sebagai legitimasi superioritas ras tertentu.
Selanjutnya Darwin menyebutkan
kompetisi sebagai salah satu aspek penting yang tidak terpisahkan dalam
mekanisme seleksi alam (yang kemudian dijadikan dasar survival of the fittest oleh Spencer). Sebagai sebuah interaksi, kompetisi dapat terjadi
secara intraspesifik atau interspesifik. Menurut Darwin, kompetisi terjadi
ketika satu atau lebih spesies menggunakan sumberdaya yang sama, entah pakan
atau habitat. Salah satu bukti yang diajukannya adalah burung Finches di pulau Galapagos yang
mengembangkan berbagai jenis paruh akibat kompetisi sumberdaya pakan. Ini yang
kemudian dalam ekologi dijelaskan sebagai prinsip pengecualian kompetitif,
dimana saat dua spesies berkompetisi, spesies yang kurang mampu bersaing akan
beradaptasi, bergerak, atau mati. Agar dua spesies
tersebut dapat hidup dan memanfaatkan sumberdaya yang ada, maka salah satu
spesies akan mengembangkan spesialisasi yang berbeda dari yang lainnya. Dengan
demikian Seleksi alam tidak hanya berhubungan dengan kompetisi namun juga
berhubungan dengan proses adaptasi (adaptasi
fisiologi, morfologi dan tingkah-laku) dan spesialisasi.
Pada manusia sendiri bentuk
adaptasi dan spesialisai yang menjadi pembeda dengan primata
lainnya adalah perkembangan kapasitas dan kemampuan otak sehingga memungkinkan
kerja-kerja kognitif dapat terjadi sangat signifikan. Sebagai mahkluk yang
terbatas secara morfologi dan fisiologi (kita tidak punya rambut yang tebal
untuk cuaca dingin, tidak punya taring tajam atau cakar untuk berburu, tidak
punya sistem pencernaan seperti bekantan (Nasalis
larvatus) untuk mengkonsumsi makanan berupa biji-bijian dan dedaunan
mentah, dll) maka manusia mengembangkan kapasitas dan kerja otaknya.
Selanjutnya lokomosi bipedal juga menjadi pembeda lainnya, dengan bipedal
sempurna manusia memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu dengan tangannya.
Engels bahkan menyebut inilah muasal manusia mulai menciptakan alat-alat untuk
kerja.
Untuk memahami lebih lanjut soal
spesialisasi dan adaptasi, kita perlu memahami konsep niche (relung/ceruk ekologis). Relung ekologi adalah sebuah konsep yang
menjelaskan bagaimana organisme berdasarkan siklus hidup, ciri dan perilakunya menempati
suatu posisi dalam ekosistem sebagai bentuk toleransi agar sesuai dengan
lingkungannya[14]. Posisi ini kemudian
menentukan perannya secara ekologis. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan aliran
energi pada ekosistem (tingkat trofik) namun juga tentang sumberdaya serta interaksi
dengan spesies lainnya. Relung ekologis sangat spesifik dan unik untuk
masing-masing spesies. Bahkan dalam beberapa ekosistem tertentu, ada relung
yang tak bisa digantikan oleh spesies lainnya. Sehingga semakin luas relung
suatu spesies tidak berkaitan dengan semakin baik fungsinya dalam ekosistem
tapi menunjukan semakin besar potensinya untuk tetap survive. Relung ekologi sendiri dapat dikelompokan menjadi relung
habitat, relung pakan, relung geografis, dll.
Berkat penelitian dibidang ekologi,
kita akhirnya tahu bahwa interaksi dalam ekosistem tidak melulu soal kompetisi.
Kita kemudian mengenal simbiosis; mutualisme (mutualisme simbiotik dan
mutualisme non-simbiotik), parasitisme, komensalisme, amensalisme dan
netralisme. Masing-masing interaksi ini kemudian memainkan perannya dalam
mendukung kesuksesan evolusi suatu spesies. Dengan demikian
kita tahu bahwa konsep survival of the fittest a la Spencer
berbeda dengan konsep seleksi alam Darwin. Walaupun mesti diakui bahwa sebagai
seorang borjuis yang terpengaruh dengan romantisme Victorian, jelas bahwa Darwin tampil sebagai representasi kelompok
elit Eropa. Oleh karena itu ia tidak menolak ketika teorinya digunakan untuk
kepentingan liberal Eropa seperti Spencer, dll sebagai alat legitimasi feodalisme,
rasisme, perbudakan, dan kolonialisme.
**
Kembali pada teks Bima, sepertinya ia tetap terjebak
dalam kesalahan konsepnya Spencer, yang sebelumnya ia coba kritik. Coba kita
lihat kalimatnya:
“Dan
karenanya, ada perang yang sedang berlangsung saat ini dalam perebutan sumber
daya. Pertanyaannya sekarang: Siapakah yang menang? Mereka yang bersaingan atau
berkerjasama? Mereka yang mempraktikan penindasan atau pembebasan? Apakah
anarkisme adalah the fittest one?”
Saya tidak membantah bahwa salah satu permasalahan
yang kita hadapi adalah perang perebutan sumberdaya, yang agak menggangu adalah
pertanyaan terakhirnya. Seperti yang saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya,
Bima sangat inkonsisten, ia mengkritik Spencer, namun menempatkan anarki(sme)
tetap dalam konsep Spencer. Dengan mengandaikan menang sebagai tujuan akhir dan
persaingan atau kerjasama sebagai medium proses, Bima tetap mendefinisikan fittest
sebagai yang terkuat. Dengan begitu Bima tetap terjebak pada miskonsepsi atas
evolusi. Jika Bima mau menyempatkan diri membaca Mutual Aid: A Factor of Evolution maka ia akan menemukan bahwa
pertanyaan who are the fittest? telah dibahas berulangkali
oleh Kropotkin.
Dengan salah memahami konsep
mekanisme seleksi alam Darwin, apa lagi merujuk pada defenisi sempit para
darwinis sosial, kita akan berakhir pada pengekalan persaingan atas suberdaya.
Pandangan yang melihat mutualisme hanya sebagai sesuatu yang terkondisikan
akibat evolusi, bukan sebagai salah satu syarat keberhasilan evolusi. Banyak sekali penelitian
dibidang ekologi dan zoologi yang membantah hal ini, bahwa terdapat sumberdaya
bersama yang bisa digunakan oleh lintas spesies tanpa adanya konflik. Bahkan ada
konsep koeksistensi dalam ekologi. Altruisme misalnya diakui oleh banyak
darwinis sosial, namun tetap diabaikan dengan berkata bahwa perilaku altruistik
tetap menuntut cost and benefit.
Ya, mungkin dalam beberapa situasi manusia
terdokumentasi membunuh teman sendiri, tapi tidak jarang manusia menyelamatkan
bahkan musuh sekalipun. Tanggal 20 Desember 1943, Franz Stigler seorang pilot
pesawat tempur Luftwaffe Nazi Jerman
menyelamatkan pesawat pengebom Amerika yang dipiloti Charlie Brown dan 9 awak
lainnya yang rusak parah, saat ia punya banyak kesempatan untuk menembaknya.
Franz Stigler tercatat 29 kali menembak jatuh pesawat musuh dan butuh 1 pesawat
lagi agar ia memperoleh penghargaan Knight's
Cross (butuh 30 kemenangan). Dengan membiarkan 1 pesawat lolos, Franz
Stigler tidak hanya kehilangan kesempatan untuk memperoleh Knight's Cross, tapi juga beresiko dieksekusi oleh pihak Nazi
Jerman. Jika perilaku altruistik adalah semata hubungan cost and benefit, bagaimana menjelaskan motivasi Franz Stigler?
Gradualisme
“Mutation,
it is the key to our evolution. It has enabled us to evolve into the dominant
species on the planet. This process normally takes thousands and thousands of
years. But every few hundred millenia, evolution leaps forward”
(Professor X – X-Men)
Menurut Darwin evolusi dimungkinkan akibat rentetan
proses yang memerlukan waktu lama dan bertahap. Ia sependapat dengan natura non facit saltus: “alam tidak
membuat lompatan” yang dikenalkan oleh Gottfried Leibniz dan Carolus Linnaeus. Gradualisme
Darwin sebenarnya juga banyak dipengaruhi oleh pandangan uniformitarianism yang dibacanya dalam buku Charles Lyell's: Principles of Geology[15],
sebagai salah satu buku peganganya saat melakukan ekspedisi. Pandangan tersebut
menganggap bahwa alam selalu konstan sepanjang masa (dalam ruang dan waktu) dan
hukum alam yang ada saat ini adalah juga sama dengan yang terjadi dimasa lalu.
Hal ini dapat dengan mudah diidentifikasi dalam tulisan Darwin yang banyak
menggunakan data geologi sebagai pendukung teorinya.
Menariknya “koreksi” paling
kuat terhadap gradualisme Darwin datang
dari para neo-darwinian; Niles Eldredge
dan Stephen Jay Gould. Mereka menyodorkan teori "kesetimbangan
bersela” (punctuated equilibrium) yang
mengasumsikan bahwa evolusi tidaklah melulu berjalan secara gradual, melainkan
dapat terjadi dengan cepat. Pandangan ini mendasarkan argumennya lewat mekanisme
spesiasi alopatrik dan parapatrik. Teori ledakan kambrium
juga disebut sebagai bantahan paling kuat terhadap gradualisme dengan asumsi
bahwa telah terjadi kemunculan sejumlah filum baru dalam waktu yang relatif
cepat.
Sebenarnya banyak teori dan hipotesis yang mengkoreksi gradualisme seperti
pandangan saltasionisme dan evolusi kuantum. Yang terakhir, walaupun masih
banyak perdebatan, mutasi telah menarik banyak perhatian para evolusionis yang
dikejutkan oleh bagaimana lompatan-lompatan evolusi dapat terjadi secara
singkat.
Kalau begitu apa yang mesti diwaspadai dari gradualismenya
Darwin/darwinisme? Menurut saya perdebatan pada ranah sains tidak atau belum
akan selesai. Toh kita tidak akan menyerahkan legitimasi kehidupan pada
keputusan para spesialis. Yang jadi persoalan menurut saya adalah ketika hal
tersebut oleh spesialis dan darwinis sosial ditarik ke ranah sosial manusia dan
digunakan untuk legitimasi kepentingan mereka. Implikasi
dari gradualisme adalah kepercayaan pada proses yang bertahap dan lambat.
Lewat gradualisme, darwinis sosial tidak hanya meragukan revolusi, tapi
meniadakan kejutan-kejutan lainnya. Maka yang ada haruslah tahapan-tahapan
terprediksi dan syarat-prasyarat. Spontanitas tidak berlaku dalam hidup yang
serba gradual. Pada konsep
gradual inilah saya secara pribadi mesti berselisih paham dengan Darwin.
Oh ia, sebagai gambaran, salah satu perbedaan mendasar dari anarki(sme) dan
komunisme a la marxist, adalah
anarki(sme) tidak memerlukan revolusi bertahap (bahkan beberapa varian
anarki(sme) tidak menyasar revolusi sebagai tujuan) apa lagi berurutan seperti
cita-cita komunisme ala marxist-leninis: merebut negara kemudian bikin sadar
masyarakatnya, baru negara dihapuskan, maka terciptalah masyarakat tanpa
kelas yang aman, damai dan sejahtera. Walaupun Marx dan Engels sendiri menolak
gagasan gradualisme Darwin dan diikuti oleh para marxist termasuk Plekanov dan Stephen Jay Gould dengan memahami gerak secara dialektis,
mereka tetap terjebak pada determinisme yang mengandaikan tahapan. Komunisme a la marxist-leninis
sepertinya mirip dengan anarki(sme) yang menghendaki melenyapnya negara, namun
keduanya berpisah pada pemahan konsep dasar mengenai negara dan cara
meniadakannya. Mereka
yang memahami gerak secara dialektis saja terjebak pada rangkaian tahapan,
syarat-prasyarat, pra-kondisi, dll, apa lagi para gradualis. Semoga Bima yang
mengaku darwinian plus anarkis paham soal ini.
Darwinisme sosial
“Wild
animals, with true natures and pure talents. Wild animals with
scientific-sounding Latin names that mean something about our DNA. Wild animals
each with his own strengths and weaknesses due to his or her species.” (Mr
Fox – Fantastic Mr Fox)
Darwinisme sosial pada dasarnya adalah paham yang
menggunakan teori evolusi Darwin (lebih khusus seleksi alam) sebagai sebuah pendekatan
sosial. Padangan ini mereduksi struggle
for existence menjadi survival of the fittest kemudian
mengaplikasikannya pada tatanan sosial manusia. Term darwinisme
sendiri dipopulerkan oleh Huxley, sementara darwinisme sosial dipopulerkan oleh
Spencer[16].
Belakangan diketahui bahwa frase darwinisme sosial telah digunakan pertama kali
oleh seorang anarkis Prancis Émile Gautier dalam bukunya Le Darwinisme Social pada tahun 1880[17].
Gautier berpendapat bahwa sebenarnya penerapan dari prinsip Darwin terhadap
manusia haruslah berarti kerja sama sosial ketimbang persaingan yang brutal. Lewat
bukunya tersebut Gautier melakukan kritik bagi mereka yang menggunakan
pemikiran Darwin untuk mendukung persaingan kapitalis dan laissez faire[18].
Beberapa literatur menyebutkan bahwa perkenalannya dengan Kropotkin mungkin
membuat Gautier memasukan faktor kerja sama sosial dalam bukunya tersebut[19].
Ini yang kemudian membedakannya dengan pandangan Fisher's, Huxley, dan Spencer,
walau mesti diakui bahwa masing-masing merekapun memiliki pandangan yang
berbeda. Pada kesempatan ini saya tidak akan membicarakan Thomas Huxley, Herbert
Spencer dan beberapa tokoh klasik darwinisme sosial lainnya. Dalam tulisan
singkat ini saya akan menyasar 2 orang neo darwinian yang populer terutama di
kalangan anarkis; Edward O Wilson dan Richard Dawkins.
Pada tahun 1975 Edward O Wilson menerbitkan buku Sociobiology: The New Synthesis, dengan
buku ini ia kemudian didaulat sebagai bapak sosiobiologi. Wilson sendiri
menggunakan istilah New Synthesis
sebagai kritik sekaligus upaya menjembatani para darwinis sosial klasik dan
modern. Sebuah upaya mendamaikan neo-darwinian dan aliran modern synthesis pada aras sosial. Buku
ini sebenarnya lebih banyak bicara tentang kehidupan sosial masyarakat
serangga, namun bab terakhir tentang masyarakat manusialah yang memicu
perdebatan selanjutnya. Premis utama dari sosiobiologi adalah perilaku
merupakan hasil evolusi melalui seleksi alam dan beberapa sifat tingkah-laku
dapat diwariskan. Dengan begitu menurut Wilson, aktivitas sosial yang kompleks
dapat dijelaskan dengan pendekatan biologis sebagai pengaruh genetik dan
lingkungan. Namun menurutnya hal tersebut hanya dapat dipahami lewat penulusuran
sebab-akibat dari gen dalam menjelaskan bagaimana sifat dan ciri tersebut
diwariskan, serta bagaimana perilaku terbentuk. Menurut Wilson, proses seleksi
alam terjadi pada tataran kelompok, indikatornya adalah terdapatnya relasi
sosial (resiprokal) yang menguntungkan bagi proses evolusi. Perkembangan
pendekatan ini sejalan dengan berkembangnya ilmu genetika
molekuler sejak ditemukannya model struktur molekul DNA oleh J.D.Watson dan
F.H.C. Crick pada tahun 1953, yang merupakan rentetan panjang penelitian
genetika.
Saya secara pribadi menganggap
sosiobiologi sebagai tahap lanjut dari darwinisme sosial. Jika Thomas
Huxley dan Herbert Spencer mendasarkan seleksi
alam secara umum sebagai bentuk survival of the fittest yang kemudian
melegitimasi persaingan, privilege kelompok tertentu, dll, Wilson
meng-upgradenya lewat pendekatan
genetik dan mengajukan data-data dari studi yang fokus pada perilaku khususnya
perilaku sosial beberapa taksa hewan sebagai pembenaran bahwa sifat-sifat
seperti dominasi, hierarki dan agresi adalah alamiah sebagai bawaan genetik.
Wilson secara terang-terangan bicara bagaimana sosiobiologi dapat dijadikan
pendekatan sosial. Walapun terdapat banyak pendukung, sampai saat ini sosiobiologi
masih dianggap pseudosains dan Wilson sendiri didebat oleh teman-teman satu
kampusnya, para marxist; Richard Charles Lewontin dan Stephen Jay Gould.
Tidak hanya sosiobiologi, Wilson kemudian
mengenalkan wujud determinisme gen yang lain: biophilia. Sebuah konsep yang populer dikalangan konservasionis
termasuk beberapa anarkis[20].
Konsep ini sebenarnya mengambil banyak analogi dari apa yang dikenalkan oleh
Erich Fromm dalam bukunya The Heart of Man: Its Genius for Good and Evil (1964)
dan The Anatomy Of Human Destructiveness (1973). Di mana
biophilia atau kecintaan akan semua
yang hidup sebagai oposisi dari necrophilia
atau kecintaan akan semua yang mati. Namun jika Fromm melihatnya dari segi
psikoanalisis, Wilson melihatnya dari segi biologis. Dalam bukunya: Biophilia
(1984) Wilson mendefinisikan biophilia sebagai:
”innate tendency to focus on life and
lifelike processes[21]”.
Menurutnya biophilia sebagai bentuk kecintaan manusia terhadap alam merupakan
bawaan (innate) biologis, lebih kerucut
lagi bawaan genetik. Saya pribadi melihat bahwa secara konseptual biophilia mirip dengan apa yang
ditawarkan deep ecology, dimana
keduanya melihat bahwa manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam. Bedanya
deep ecology lebih pada penekanan
moral dan landasan spriritual sementara biophilia
sekali lagi; genetik. Biophilia
bahkan diusulkan menjadi etika konservasi dan pelestarian lingkungan selain
konsep ecosophy yang dipopulerkan
Arne Naess.
Dalam Biophilia (1984) khususnya pada bab The Right Place, Wilson menjelaskan
dengan begitu puitis bagaimana orang-orang menyukai pohon-pohon, tempat tinggi,
air, dll sebagai pengaruh dari memori kondisi lingkungan fisik masa lampau. Hal
inilah menurut Wilson kenapa manusia cenderung menstimulasikan lingkunganya
mirip dengan kondisi masa lampau. Menarik memang, namun menurut saya paling
tidak ada dua hal yang patut dipertanyakan dalam konsep biophilia ini: Pertama,
jika kecintaan terhadap kehidupan atau sesuatu yang hidup adalah bawaan (innate), maka bagaimana menjelaskan
keterpisahan manusia dengan alam yang terjadi secara sistematis dan masif semenjak
lahirnya peradaban industrial? Bagaimana dengan pertambangan yang eksploitatif,
intensifikasi pertanian, dan degradasi lingkungan yang meningkat sejak revolusi
industri, serta genosida etnis dan komunitas adat yang menyertainya? Jika biophilia
adalah bawaan (innate) bukankah hal-hal
tersebut tidak akan terjadi? Kedua,
apa maksud penggunaan kata lifelike dalam
definisi yang ditawarkan Wilson? Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lifelike berarti yang tampak hidup/seperti
hidup. Menurut saya inilah makna konotatif yang ingin disampaikan Wilson. Kita akan
dengan mudah menemukan implikasi lifelike
dalam kamuflase hijau korporasi baik TNC maupun MNC. Atau bagaimana label
organik menjadi lebih mahal ketimbang yang tidak organik. Ya, lifelike inilah yang kemudian
dikomodifikasi menjadi produk ramah lingkungan (eco products) atau bagaimana kearifan lokal dan kawasan pedesaan
dijual oleh industri pariwisata sebagai ekoturisme dan bagaimana konsep-konsep
pembangunan lestari sampai skema REDD dengan perdagangan karbonnya, green awards dan lahirnya standart
manajemen lingkungan seperti ISO 14001, dll.
**
Selanjutnya ada Richard Dawkins yang begitu populer
setelah menerbitkan The Selfish Gene,
The Blind Watchmaker, River Out of Eden,
The God Delusion sampai The Greatest Show
on Earth.
Tidak seperti Wilson yang agak low profile, Dawkins tampil layaknya
artis dan begitu agresif menanggapi para kritikus. Ia bahkan beberapa kali
menghina Stephen Jay Gould dengan
mengatakan bahwa pendapat Gould tentang kesetimbangan bersela sebagai “the argument from personal incredulity”[22]
dan mengatakan bahwa Gould adalah gradualis namun tidak menyadarinya akibat
termakan gaya retorikanya sendiri.
Mirip dengan Wilson yang
membangun teorinya dari seleksi alam, adaptasi dan premis kebugaran inklusif, Dawkins lebih jauh lagi menegaskan
soal determinisme gen. Berbeda dengan Wilson yang memandang bahwa seleksi
terjadi pada tingkat kelompok (sosial) dan keluarga (kin selection), yang mengakui bahwa eusociality dan resiprokal dapat berperan untuk kesuksesan evolusi
suatu spesies, terutama spesies yang terstratafikasi seperti lebah. Dawkins
memandang bahwa seleksi terjadi pada tingkat individu, bahkan pada tingkat gen.
Walau tidak mengabaikan seleksi kelompok, namun Dawkins memandang bahwa eusociality dan altruisme hanyalah
sebatas sarana untuk pelesatarian gen semata tidak lebih. Perilaku altruistik
menurut Dawkins bukanlah didorong oleh insting sosial tapi genetik. Ia
mencontohkan bahwa seekor induk rela mati demi anaknya semata-mata adalah
akibat faktor ke-egoisan gen induk yang mau mempertahankan kelangsungan gen
yang diwarisi oleh anaknya, dan hal ini tidak ada kaitannya dengan insting
sosial. Sederhananya menurut Dawkins manusia dan setiap organisme hanyalah
rangkaian kode genetik ATGC.
Beberapa
kawan anarkis yang saya kenal sangat tertarik dengan Dawkins dan
teori-teorinya. Terdapat beragam alasan, namun menurut saya alasan pertama
karena Dawkins sangat frontal menyerang kreasionis dan agama. Dia secara terang-terangan
mengatakan bahwa ateis merupakan pemikiran yang independen serta dapat meraih kebahagiaan
ketimbang mereka yang beragama. Para kawan anarkis yang ateis dan atau agnostik
seperti menemukan legitimasi ilmiah lewat buku-buku Dawkins. Kedua, beberapa
anarkis yang saya kenal mengaitkan Dawkins dengan egoism Stirner dan
nihilisme Nietzsche, hanya karena klaim Dawkins soal gen egois; tubuh hanyalah
sarana gen, tidak ada yang baik dan buruk, semua adalah mekanisme seleksi alam.
Seperti kalimatnya dalam buku River Out
of Eden: A Darwinian View of Life: “In
a universe of blind physical forces and genetic replication, some people are
going to get hurt, other people are going to get lucky, and you won’t find any
rhyme or reason in it, nor any justice. The universe we observe has precisely
the properties we should expect if there is, at bottom, no design, no purpose,
no evil and no good, nothing but blind, pitiless indifference.”[23].
Beberapa
kawan bahkan mengatakan bahwa membaca Dawkins, sepertinya “mirip” membaca
Stirner tapi dalam perspektif biologi. Ya, mungkin bagi mereka, tapi menurut
saya secara pribadi yang sangat berbeda adalah Stirner tidak membatasi
eksistensi manusia hanya sebatas reproduksi dan pelestarian gen, hal yang
selalu diulang-ulang Dawkins. Berbeda dengan Stirner dan Nietzsche di mana egoism
ada pada tataran individu, Dawkins lebih mengkerucutkannya; gen. Dalam
pemikiran Dawkins sendiri, individu pun tidak memiliki kemampuan dalam
menentukan apapun semenjak menurutnya manusia hanyalah mesin yang meneruskan
gen sebagai replikator. Berbeda dengan Stirner yang menekankan pada otonomi
individu yang unik, dan karenanya mengusulkan union of egoists, Dawkins melihat bahwa individu sejatinya tidaklah
otonom, manusia baginya hanyalah manifestasi dari pertarungan gen. Nothing but pitiless indifference yang dimaksudkan
Dawkins adalah konsekuensi evolusi yang tanpa tujuan tertentu, sehingga
jikapun ada sesuatu yang “bermakna” hanyalah evolusi dan hukum-hukum fisika itu sendiri. Tidak ada konsep hasrat, yang ada hanyalah dorongan dari sang
replikator. Kesimpulannya, sebelum ada teori evolusi, manusia tunduk
pada hukum kreasionisme tapi setelah teori evolusi berkembang maka menurut
Dawkins manusia tunduk pada determinisme gen.
Tidak
cukup dalam bidang biologi, lebih lanjut Dawkins melakukan upaya
antropomorfistik lewat konsep meme dan memetika dalam menjelaskan replikator
non gen yang berperan dalam evolusi kebudayaan dan pemikiran manusia. Dalam oxford
dictionary (juga adalah term yang diusulkan Dawkins), meme adalah: An
element of a culture or system of behaviour passed from one individual to
another by imitation or other non-genetic means. Sementara memetika
adalah ilmu yang mempelajari bagaimana meme bekerja, bereplikasi dan berevolusi
dalam kebudayaan manusia. Konsep meme oleh Dawkins tidaklah berbeda dengan cara
kerja gen dalam evolusi biologis, jika gen berperan sebagai replikator dalam
evolusi biologis, meme merupakan replikator dalam evolusi budaya. Meme adalah
unit transmisi budaya. Meme menyebar lewat aktivitas imitasi (replikasi) dan
kemudian menyebar dari individu ke individu. Sama seperti dalam seleksi alam,
meme yang unggulah yang dapat bertahan. Contoh meme yang diberikan Dawkins
adalah tuhan, agama, bahasa, ide, musik, dll yang menyangkut produk-produk
budaya manusia.
Jika kita masuk pada pemikiran awal Dawkins bahwa yang ada hanyalah determinisme gen dan pitiless indifference, maka bagaimana
menjelasakan soal perkembangan budaya yang berdasarkan rancangan dan terdapat
tujuan-tujuan tertentu dari sekelompok orang; tata kota dan
infrastruktur jalan yang memudahkan alur kapital? Selanjutnya apakah situs-situs
seperti pornhub, xhamster, dll adalah semata-mata agar manusia terus berkembang
biak? Saya pikir tidak, inilah komodifikasi!. Jika konsep
meme seperti dijelaskan Dawkins sama seperti konsep evolusi biologis maka ia
harus menjilat ludahnya sendiri. Selanjutnya jika kebudayaan adalah semata-mata
replikasi, maka imajinasi, kreativitas dan inovasi sebenarnya tidak pernah berkembang,
bahwa pemikiran dan tindakan kita adalah meme itu sendiri. Dengan begitu maka tidak
akan ada namanya masyarakat anarkis karena sekali lagi segala sesuatu adalah
meme itu sendiri.
Namun Dawkins tidaklah kurang akal, dengan menggunakan
analogi genom, Dawkins mengenalkan konsep memeplex
untuk menjelaskan bagaimana sejumlah meme unggul bergabung dan saling
mendukung. Memeplex menurut Dawkins
dapat menjelaskan bagaimana sesuatu ideologi atau agama terus-menerus lestari
dan bertahan dari masa-ke masa. Sebenarnya ini menarik, walaupun sejauh yang
saya ketahui, Dawkins sendiri belum bisa menjelaskan dengan baik bagaimana
bentuk material dari meme sehingga ia menjadi terukur sebagai sesuatu yang
berevolusi. Sehingga akan sulit mengidentifikasi dan mengenali prosesnya.
Sebenarnya lewat konsep gen dan meme kita tahu bahwa pemikiran Dawkins
mencerminkan sifat dualistik cartesian. Di satu sisi Dawkins meyakini gen lah
yang mendorong manusia secara biologis, di sisi lain meme menjadi penentu
evolusi budaya manusia. Karena kita paham bahwa gen adalah unit pewarisan sifat
dan merupakan meteri organik dari DNA suatu kromosom, sedangkan meme bersifat
imateril dan sulit didefiniskan. Menurut saya kalau hanya untuk menjelaskan
bagaimana lagu dapat menjadi booming
atau mode menjadi tren, mungkin lebih baik kita menilik kembali ilmu semiotika
atau jika mau tampak kekinian, mending
kita kembali pada teori-teori posmo yang nyentrik
itu.
Sampai saat ini banyak penelitian mengenai keterkaitan
antara gen dan perilaku sehingga kemudian memunculkan cabang ilmu genetika
perilaku, yang mempelajari bagaimana gen mendeterminasi perilaku. Bahkan bebeberapa
penelitian terbaru menyebutkan bahwa kecerdasan anak dipengaruhi oleh gen ibu. Walaupun
terdapat beberapa penelitian yang mengkonfirmasi hal tersebut di atas[24],
tetapi banyak juga penelitian yang menyebutkan bahwa faktor lingkungan dan
proses belajar tetap berpengaruh secara signifikan terhadap kecerdasan anak.
Disinilah pandangan nature dan nurture mengambil bagian. Tapi toh,
menurut Dawkins kita tidak pernah akan bisa bebas dari dua hal: determinisme
gen dan meme.
**
Yang saya mau tekankan disini adalah bagaimana
darwinisme sosial perlu ditolak dan bagaimana mereka mempengaruhi banyak
kalangan termasuk para anarkis. Hal yang juga saya lihat pada Bima, seperti
kalimatnya:
“Kita
tidak perlu menghantam darwinisme sosial, sebab sebenarnya mereka berkontribusi
secara positif untuk pembenaran anarkisme.”
Yang saya mau tanyakan ke Bima, dimana letak
kontribusi positifnya? Lagipula sejak kapan anarki(sme) butuh pembenaran?
Apakah Bima sadar bahwa darwinisme sosial adalah paham yang terus
mengampanyekan persaingan adalah natural dan yang palingkuatlah yang menang?
Kita bisa dengan mudah menelusuri bagaimana darwinisme sosial melegitimasi
ekonomi Laissez-faire, eugenika, rasisme, perang, kolonialisme, perbudakan,
sampai kapitalisme dan atau negara. Serta bagaimana darwinisme
sosial mendukung superioritas manusia sebagai legitimasi atas dominasi dan
eksplotasi alam. Tapi seperti yang saya katakan pada tulisan sebelumnya, Bima
sangatlah reduksionis sekaligus spekulatif. Misalnya kita bisa melihat
kekeliruan Bima yang lain; dengan mengutip bukunya Darwin Descent of Man
(1871) Bima mengatakan:
“Darwin juga merasa bahwa insting sosial
seperti simpati dan sentimen moral juga berkembang melalui seleksi alam”
Padahal dalam buku tersebut Darwin sendiri mengakui
bahwa kebiasaan, agama dan proses belajar lebih berpengaruh pada perkembangan
moral ketimbang seleksi alam. Saya jadi ragu apakah Bima pernah membaca buku
ini atau tidak. Bahkan di buku tersebut Darwin berkata: “Primogeniture with entailed estates is a more direct evil, though it
may formerly have been a great advantage by the creation of a dominant class,
and any government is better than anarchy[25]”. Mudah-mudahan
Bima tidak sungguh-sungguh dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang darwinian.
Atau paling tidak dia tahu pasti evolusi Darwin banyak dikritik, tidak hanya
oleh kreasionis, tapi dari golongan yang juga dipujanya; anarkis.
Kritik Terhadap Darwinisme Sosial
“We each
exist for but a short time, and in that time explore but a small part of the
whole universe. But humans are a curious species. We wonder, we seek
answers...”
(Stephen Hawking – The Grand Design)
Di kalangan anarkis sendiri ada Kropotkin, sang
pangeran dari Rusia, geografer, naturalis otodidak sekaligus salah satu pelopor
anarko komunisme. Kropotkin bisa dibilang sangat terpengaruh dengan teori
evolusi Darwin, ia bahkan memuji Darwin atas kerja kerasnya[26].
Namun alih-alih menyebut diri sebagai darwinian, ia mengkritik Darwin khususnya
pada bagian struggle for existence,
dengan mempublikasikan Mutual Aid: A
Factor of Evolution.
Seperti yang diketahui bahwa konsep mutual aid Kropotkin banyak dipengaruhi
oleh K.F. Kessler, seorang naturalis Rusia. Namun jika ditelusuri lebih lanjut,
Kessler sendiri terpengaruh oleh Nikolai D. Nozhin, seorang ilmuan muda yang
tercatat sebagai salah satu orang Rusia pertama yang mengenalkan konsep mutual aid pada tahun 1864[27].
Nozhin menolak gagasan struggle for
existence sebagai satu-satunya mekanisme dibalik evolusi. Menurutnya penekanan
pada kompetisi dan bukan kooperasi sebagai gagasan borjuis tentang evolusi, ia
bahkan mendeklarasikan bahwa: “only
mutual aid among men would produce fully integrated individual enjoying health
and freedom”[28].
Baru setelah Nozhin dan teman sekamarnya; Nikolai Mikhailovskii, wacana tentang
mutual aid mulai populer di Rusia[29].
Pengaruh dua orang tersebut terlihat dari materi kuliah Kessler pada tahun 1880
yang kemudian mempengaruhi Kropotkin[30].
Selanjutnya yang perlu diketahui bahwa bukanlah sebuah kebetulan Nozhin dan
Mikhailovskii mengenalkan mutual aid,
semenjak keduanya sangatlah terpengaruh oleh konsep mutualisme (mutualité) Proudhon[31].
Menariknya hari ini, Kropotkin kembali mendapatkan
tempat dalam ranah sains modern. Pemikirannya ditinjau kembali dalam upaya
membangun pandangan yang lebih komperhensif tentang evolusi, khususnya perilaku
sosial. Usulannya soal mutual aid
memberikan banyak sumbangan dalam upaya penjelasan sesuatu yang masih misteri
dalam evolusi; altruisme[32].
Kropotkin berpendapat bahwa mutual aid sebenarnya dapat dengan mudah ditemukan pada berbagai
taksa hewan termasuk manusia di hampir seluruh bagian dunia[33].
Bahkan menurutnya tidak hanya spesifik pada spesies yang kompleks tapi mungkin juga
terdapat pada hewan invertebrata[34].
Sebenarnya para etolog darwinis paham bahwa mutual
aid terdapat pada kelompok hewan tapi menolak bahwa hal itu berperan
penting apalagi pada manusia. Perlu diingat bahwa Kropotkin tidak menolak
adanya persaingan di alam. Ia menyadari pentingnya perjuangan atau persaingan
sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Namun menurutnya juga terdapat mutual aid yang tidak bisa
dikesampingkan, bahwa kerjasama dalam spesies adalah cara terbaik untuk
bertahan di lingkungan yang tidak bersahabat. Sehingga Kropotkin kemudian
menggunakan dikotomi: (1) organism
against organism of the same species for limited resources, leading to
competition; and (2) organism against environment, leading to cooperation[35].
Hal ini juga sebenarnya telah dibahasnya dalam pendahuluan bukunya: “...in addition to the same advantages, the
possibility of working out those institutions which have enabled mankind to
survive in its hard struggle against Nature, and to progress, notwithstanding
all the vicissitudes of its history. It is a book on the law of Mutual Aid,
viewed at as one of the chief factors of evolution — not on all factors of evolution
and their respective values; and this first book had to be written, before the
latter could become possible”[36].
Perlu dipahami, dalam biologi dan ekologi, mutualisme
sering didefinisikan sebagai interaksi timbal balik yang saling menguntungkan antara
dua spesies yang berbeda, sementara altruisme adalah interaksi saling membantu
dalam satu spesies yang sama[37].
Definisi-definisi tersebut sering dikaburkan oleh banyak terminologi yang
hampir mirip semisal kooperasi dan resiprokal. Kropotkin sendiri menggunakan mutual dalam beberapa padanan; mutual aid, mutual support, mutual confidence, mutual assistance, mutual defence
sebagai pembeda terhadap mutual struggle[38].
Masing masing term ini memiliki implikasi yang berbeda, sayangnya hal ini
sering salah dipahami oleh banyak orang. Jika ditarik lebih jauh, misalnya simbiosis
belum tentu mengindikasikan mutualisme, melainkan dapat sebaliknya; parasitisme
misalnya. Simbiosis sendiri sangat beragam dalam pengertiannya sehingga
memunculkan banyak perdebatan bagi para peneliti[39].
Secara umum simbiosis adalah hubungan atau interaksi
antar organisme. Walaupun mutualisme dianggap bagian dari simbiosis, sebenarnya
terdapat 2 jenis mutualisme: mutualisme simbiotik dan mutualisme non-simbiotik,
atau dapat dikatakan bahwa tidak semua jenis muatualisme memerlukan hubungan
secara langsung[40].
Inilah yang saya pahami sebagai solidaritas
yang berulangkali disebutkan Kropotkin dalam bukunya mutual aid. Menurut saya, solidaritas sebagai wujud dari mutualisme non simbiotik[41]
menarik untuk dibicarakan, misalnya apa motivasi, keuntungan atau manfaat dari
para anak muda jomblo yang dengan beragam bentuk aksi melakukan solidaritas
terhadap petani Kendeng misalnya? Selanjutnya saya yakin banyak dari mereka
yang akan bingung ketika diminta menunjukan posisi Merauke pada peta RBI, namun
tetap melakukan solidaritas terhadap masyarakat yang
melakukan penolakan terhadap MIFEE (Merauke
Integrated Food and Energy Estate). Apa keuntungannya? eksistensi?
Belum tentu. Apakah mereka kemudian dikenal oleh masyarakat di Papua? Juga
belum tentu. Lantas apakah solidaritas berguna sebagai bentuk perlawanan? Ya!
Penggunaan beberapa terminologi oleh Kropotkin merupakan
bukti bahwa mutual aid melampaui
cabang biologi yang masih berkembang saat itu. Sehingga saya tidak
mengidentifikasi konsep mutual aid
sebagai sebuah konsep mutualisme yang umum digunakan dalam term biologi dan ekologi.
Menurut saya mutual aid yang
dibicarakan Kropotkin lebih pada makna kooperasi atau kerja sama sosial dalam
berbagai bentuk dan dengan berbagai pihak yang di dalamnya terdapat sifat saling
menguntungkan ataupun lebih menguntungkan dari pada tidak melakukan kooperasi.
Banyak sekali kesalahan umum yang beranggapan bahwa mutual aid menjelaskan bahwa spesies
pada dasarnya baik, ramah dan secara alamiah memiliki insting saling
tolong-menolong, dan paling fatal banyak yang kemudian tidak mengakui adanya
kompetisi di alam. Perlu diketahui Kropotkin menghindari menggunakan altruisme yang
menggambarkan kebaikan di antara hewan, karena menurutnya bahkan manusia
sendiri tidak pada dasarnya baik, penuh cinta dll, begitu juga dengan hewan. Ini
yang coba ia gambarkan dalam bab Mutual
Aid Among Savages dan Mutual Aid
Among the Barbarians. Lagi menurutnya yang mendorong organisme untuk
bekerja sama bukanlah insting tolong menolong, kebaikan, dll tapi lebih pada
kepentingan untuk bertahan hidup. Karenanya ia menggunakan judul: Mutual Aid: A Factor of Evolution. Kropotkin
dengan tegas berpendapat bahwa mutual aid
hanyalah salah satu faktor dalam evolusi. Seperti yang juga ia katakan: “Sociability is as much a law of nature as
mutual struggle”[42].
“... As seen from the above, the war of
each against all is not the law of nature. Mutual aid is as much a law of
nature as mutual struggle, and that law will become still more apparent when we
have analyzed some other associations of birds and those of the mammalia”[43].
Ia sadar bahwa manusia cenderung mementingkan diri sendiri namun juga terdapat
peluang untuk bekerja sama, sehingga eksplorasi lebih jauh tentang perkembangan
etika dan moral akhirnya bisa ditelusuri dalam teks-teks Kropotkin yang lain
seperti Ethics: Origin and Development
dan Anarchist Morality.
Menariknya Kropotkin meyakini bahwa anarkisme
sendiri adalah bagian dari evolusi seperti katanya: The ideal of the anarchist is thus a mere summing up of what he
considers to be the next phase of evolution[44]. Kalau dilihat dari tulisan-tulisannya
kita tahu bahwa Kropotkin masih seperti Darwin yang memahami evolusi bergerak
secara gradual, walaupun ia sendiri mengakui evolusi dapat terjadi secara
progresif[45].
Pandangan gradualis ini sangat umum pada geografer pada masa itu yang
menjadikan data-data geologi (lebih khusus pandangan Charles Lyell's) sebagai
salah satu dasar ilmu geografi. Maka menurut saya kalimatnya di atas mengandung
pertanyaan. Jika cita-cita anarkis adalah fase selanjutnya dari evolusi, maka
fase apa yang ada sebelum dan sesudah masyarakat anarkis? Apa yang kemudian
menjadi ciri pembeda masing-masing fase? Saya yakin Kropotkin paham bahwa
evolusi adalah proses yang terjadi terus menerus, bisa progresif dan regresif
serta evolusi cenderung mengarah pada kompleksitas, maka sebenarnya Kropotkin
juga paham bahwa hasil evolusi hari ini bukanlah hasil akhir. Sehingga
Kropotkin dan kita juga seharusnya paham bahwa masyarakat anarkis juga dapat berarti
bukanlah tujuan atau jawaban akhir.
Namun perlu diingat bahwa upaya penelusuran yang
dilakukan Kropotkin pada beberapa taksa hewan, fase sejarah manusia, dan
beberapa laporan mengenai kehidupan suku-suku “terasing”[46]
bukanlah upaya dalam mencari korelasi perilaku sosial antara manusia dan hewan,
apa lagi berusaha mencocok-cocokkannya seperti yang beberapa etolog darwinis
sosial lakukan. Upaya Kropotkin tersebut di sini mestilah dilihat sebagai: Pertama, kritik terhadap Darwin bahwa
evolusi khususnya seleksi alam tidak semata-mata tentang mutual struggle tapi juga mutual
aid sebagai faktor penentu keberhasilan dalam evolusi. Kedua, bukti-bukti mutual aid
yang ditemukan baik pada beberapa taksa hewan dan manusia disodorkan sebagai
bantahan bagi para darwinis sosial. Mutual
aid sebenarnya secara khusus ditujukan Kropotkin pada logika
megalomaniak Spencer dan Huxley tentang survival of the fittest[47].
Bahwa menurut Kropotkin, fittest bukanlah yang terkuat dan yang paling mampu dalam
kompetisi, melainkan yang paling sociable[48]. Ketiga, buku ini merupakan salah satu upaya Kropotkin dalam menegaskan
pertautan antara anarki(sme) dengan sains[49].
Keempat, ini adalah proposal Kropotkin pada umat
manusia bahwa hidup dengan menerapkan mutual aid adalah lebih baik
ketimbang hidup dalam mutual
struggle.
Sehingga hidup bukanlah semata-mata bellum omnium contra omnes
seperti yang diusulkan Hobbes, tapi adalah relasi sosial yang penuh kerja sama
dan saling mendukung. Berdasarkan hal-hal tersebut saya lebih memilih menyebut
Kropotkin sebagai evolusionis sekaligus komunis-anarkis ketimbang darwinis apa
lagi darwinis sosial.
Selain Kropotkin, terdapat banyak kalangan anarkis
yang membantah dan menyerang para darwinis sosial. Murray Bookchin adalah salah
satu di antaranya. Sebagai seorang profesor ekologi sosial ia menaruh banyak
perhatian terhadap evolusi dan melakukan kritik pada para neo-darwinian dan
darwinis sosial seperti Edward O Wilson[50].
Ia bahkan mendebat landasan darwinisme sosial tentang populasi a la malthusian lewat artikelnya The Population Myth dengan menggunakan
pendekatan ekologis; carrying capacity[51].
Seperti Kropotkin, Bookchin juga menaruh perhatian pada mutual aid, bahkan mengembangkannya, seperti yang ia katakan:“If we are prepared to recognize the
self-organizing nature of life, the decisive role of mutualism as its
evolutionary impetus obliges us to redefine “fitness” in terms of an
ecosystem’s supportive apparatus. And if we are prepared to view life as a
phenomenon that can shape and maintain the very “environment” that is regarded
as the “selective” source of evolution, a crucial question arises: Is it
meaningful any longer to speak of “natural selection” as the motive force of
biological evolution? Or must we now speak of “natural interaction” to take
full account of life’s own role in creating and guiding the “forces” that
explain its evolution? Contemporary biology leaves us with a picture of
organic”[52].
Natural interaction inilah yang kemudian pada perkembangan selanjutnya ditarik
oleh Bookchin sebagai landasan ecological
society.
Bookchin sendiri adalah orang yang sangat
terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Kropotkin. Bookchin mengaplikasikan
pendekatan-pendekatan ekologi sebagai ilmu yang komperhensif dalam melihat
bagaimana relasi manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kesatuan
ekosistem, bahkan melampaui Kropotkin yang masih terpaku pada kritik seleksi
alam Darwin dan masih memiliki kecenderungan gradualis, Bookchin menawarkan dialectical naturalism, ia
meredefinisikan ekologi sebagai: “as the
dialectical unfolding of life forms from the simple to the complex, or more
precisely, from the simple to the diverse”[53].
Lebih jauh, Bookchin menawarkan social
ecology sebagai konsep yang
kemudian diklaim melampaui banyak pemikiran gerakan ekologi dan gerakan
lingkungan (environmentalism)[54]
baik dalam lingkup anarki(sme) maupun marxisme. Pandangan Bookchin yang melihat
bahwa hirarki dan dominasi manusia terhadap manusia adalah muasal dominasi alam
dan akar dari krisis ekologis sebenarnya juga dianalisis oleh beberapa orang
termasuk John Zerzan, Kevin Tucker, Derrick Jensen, dll. Walaupun berpisah pada
tataran praktek dan berujung pada kritik-otokritik yang sangat menarik dan masih
berlangsung sampai saat ini, saya pikir pemikiran individu-individu tersebut menaruh
banyak perhatian pada kritik atas miskonsepsi evolusi dan biosentrisme. Mungkin
kita bisa mendiskusikannya lebih spesifik pada kesempatan yang lain. Selanjutnya,
selain nama-nama tersebut di atas, di kalangan anarkis masih banyak yang
melakukan kritik terhadap darwinisme sosial. Bahkan dalam penelusuran saya
secara pribadi, saya tidak atau belum menemukan teks anarkis yang mengklaim
mendukung paham darwinisme sosial selain tentu saja; Bima.
Beberapa usulan
“Mother
Nature is a serial killer. No one's better. Or more creative. Like all serial
killers, she can't help the urge to want to get caught. What good are all those
brilliant crimes if no one takes the credit? So she leaves crumbs. Now the hard
part, why you spend a decade in school, is seeing the crumbs. But the clue's
there. Sometimes the thing you thought was the most brutal aspect of the virus,
turns out to be the chink in its armor. And she loves disguising her weaknesses
as strengths. She's a bitch.” (Andrew Fassbach -World War Z)
Evolusi sebagai rangkaian proses yang masih terjadi sampai hari ini
menyediakan banyak sekali keunikan sekaligus pelajaran. Dan sebagai bagian dari
evolusi, manusia memiliki kesempatan untuk mengalami dan menyaksikan keindahan
dari kompleksitas dan diversitas proses evolusi tersebut. Berdasarkan kekaguman
atas evolusi saya ingin mengusulkan beberapa hal. Namun seperti yang saya
katakan sebelumnya, tidak ada yang baru dalam usulan ini, bahkan beberapa di antaranya
telah disampaikan berulang-ulang oleh beberapa orang. Dorongan untuk kembali
menyampaikannya lebih pada alasan kegalauan
pribadi yang melihat bagaimana misalnya beberapa kawan yang mengutip sana-sini
tentang Kropotkin namun gagal paham soal mutual
aid yang telah diuraikan dan diusulkan secara sistematis olehnya lebih dari
satu abad yang lalu. Atau bagaimana beberapa kawan yang kebliger tentang perang jalanan namun lupa ada taktik swarm intelegensia yang mengecoh polisi
di Seattle 19 tahun yang lalu. Saya tidak akan panjang lebar bicara tentang beberapa
usulan ini, gambaran singkat ini saya harap dapat menjadi diskusi lebih lanjut,
itupun jika hal-hal ini dianggap penting. Beberapa usulan ini bahkan menurut
saya sangat terburu-buru, prematur dan mungkin diluar konteks. Dan ya, seperti
yang secara implisit dibicarakan dalam artikel Bima, alam menyediakan
“fenomena” menarik yang dapat dipelajari.
1. Menggali kembali konsep swarm intelegensia, mutual
aid, dan polimorfisme.
Swarm intelegensia: adalah sebuah mekanisme yang
banyak ditemukan pada kawanan burung dan serangga serta telah terbukti berperan
penting dalam evolusi. Dengan Swarm intelegensia, beberapa speseis dapat
membangun sarang yang kompleks, menghindari predator, melindungi anggota
kelompok, serta memanfaatkan gerak kelompok untuk meminimalkan penggunaan
energi oleh individu. Beberapa karekter kecerdasan ini adalah: tidak adanya
kontrol terpusat (desentralisasi), otonom, konektivitas yang tinggi antar
individu, penguatan pada masing-masing individu lewat komunikasi dan aktivitas
sebagai respon atas kondisi sekitar, serta gerak/aktifitas yang non-linear.
Kecerdasan kelompok ini telah dibawa ketataran praktek
oleh kelompok-kelompok anarkis pada pertempuran jalanan untuk menghindari
prediksi, penangkapan dan pembubaran aksi karena ketiadaan otoritas sentral
(aplikasi taktik ini dapat di lihat pada aksi Seatlle dan Genoa)[55]. Dalam prakteknya, swarm intelegensia mensyaratkan
individu-individu atau kelompok otonom serta aplikasi mutual aid yang tidak kaku, sehingga komunikasi dan koordinasi
gerak dapat dilakukan berdasarkan insiatif masing-masing individu dalam
kelompok berdasarkan infomasi yang ada disekitar[56]. Menurut saya jika kita
butuh element of surprise, swarm intelegensia dapat menyediakannya.
Swarm intelegensia tidak hanya
berguna pada tataran aksi langsung tapi dapat diterapkan pada lingkup aksi yang
lebih strategis atau menjadi plan B pada
skenario terburuk.
Mutual aid: Mutual aid seharusnya tidak dipahami hanya sebatas
tolong-menolong, kemitraan dan definisi moralis lainnya (saya telah membahas
ini pada bagian Kritik
Terhadap Darwinisme Sosial) atau dikerdilkan seperti penjelasan seorang master
ekologi manusia lulusan IPB yang
menyebutkan: “Gagasan Kropotkin tentang
Mutual Aid, mensyaraktkan dua hal. Pertama, tindakan kolektif. Kedua,
pengelolaan bersama” [57].
Menurut saya kalaupun ada syarat dari mutual
aid yang diusulkan Kropotkin yang pertama adalah adanya asosiasi otonom, kedua
komunalisme[58],
dengan begitu prinsip egalitarian bisa tercapai. Mutual aid tidak mungkin terjadi pada individu-individu atau
kelompok yang tidak otonom dan setara, sehingga yang ada hanyalah kesukarelaan
bukan keterpaksaan lewat aturan, kebijakan dan kesepakatan mengikat yang
timpang, dll. Inilah dasar Anarchist
Communism yang diusulkan Kropotkin. Tindakan kolektif dan pengelolaan
bersama adalah hal-hal yang kemudian terkondisikan. Ini yang kemudian lebih
lanjut dikembangkan oleh Bookchin dan menjadi salah satu dasar bagi munisipalisme libertarian. Mutual aid
sebagai sebuah asosiasi yang saling menguntungkan, menurut saya juga tidak
hanya dapat dimaknai sebagai tindakan-tindakan kolektif, semenjak mutual aid juga dapat diterapkan pada
tataran individu-individu, serta dapat mengambil bentuk yang beragam dan tidak
terbatas pada satu asosiasi misalnya ekonomi. Itu kenapa walau menuliskan
panjang lebar soal mutual aid,
Kropotkin tidak menyebut diri sebagai mutualis.
Hal
ini menurut saya yang juga menjadi perbedaan antara pandangan komunis anarkis,
mutualis (Proudhon)[59]
dan kolektivisme seperti Bakunin[60].
Ini haruslah
dipahami sehingga tidak sampai pada kesimpulan spekulatif seperti: “Meskipun memiliki unsur-unsur yang
membentuk pola ecotopia yang berbeda, pemikiran Peter Kropotkin tentang teori
Mutual Aid sering kali terlupakan, dan seringkali dicaplok oleh negara dengan
berbagai program ilusi kemitraan maupun pemberdayaan-pemberdayaan semunya”[61]. Kenapa ini spekulatif? Pertama, program kemitraan dan
pemberdayaan bukanlah konsep yang dibicarakan Kropotkin dalam mutual aid. Kedua, seperti saya sebut di
atas bagaimana mungkin mutual aid
dapat terjadi jika pelakunya tidak setara? Hal ini sedari awal semu, bukan
karena salah mengaplikasikan mutual aid,
tapi dari kesalahan bangunan awal perspektif pemerintah soal masyarakat,
soal term “kemitraan” dan “pemberdayaan” itu sendiri. Atau dapat dikatakan
bahwa sifat ilutif program kemitraan maupun pemberdayaan tidak ada hubungannya
dengan mutual aid, karena memang
tidak ada mutual aid di dalamnya. Kemudian
yang saya mau tanyakan, negara mana yang mencaplok mutual aid? Apa yang dicaploknya? Atau coba sebutkan satu saja
program kemitraan dan pemberdayaan oleh negara di Indonesia yang menggunakan
teori mutual aid Kropotkin sebagai
landasan teroritisnya! Menurut saya ini mengindikasikan 2 hal: kalau bukan
gagal paham soal mutual aid, maka
sang master tidak pernah membaca sampai tuntas teks-teks Kropotkin.
Kesalahan menerjemahkan mutual aid selanjutnya akan berakhir dengan kesimpulan akademik
yang positifistik : “Sharing power selalu
membutuhkan reformasi yang secara politik, budaya dan sebagainya secara lebih
luas. Instrumen kebijakan dari Undang-Undang (UU) sampai Peraturan Daerah
(PERDA) juga harus dirubah, baik kebijakan financial maupun politik. Contoh
politik kebijakan, adalah PERDA dimana 75% Peraturan Daerah di Indonesia tidak
berbasis masyarakat dan masih bersifat miopik. Meskipun banyak PERDA dimana
dalam proses pembuatan tata ruang yang mensyaratkan partisipatori, contohnya
AMDAL”[62].
Wah..wah..wah.., jadi jika telah terdapat kebijakan yang direformasi dan jika kebijakan
misalnya soal tata ruang telah dirubah dan menyediakan ruang partisipatori bagi
masyarakat maka masyarakat akan damai dan sejahtera? Jika harus sampai pada
kesimpulan seperti: Proses pengelolaan
bersama dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan lingkungan”[63],
ngapain menggunakan Kropotkin dan
Bookchin. Mungkin si penulis lupa bahwa AMDAL sebagai sebuah instrumen
kebijakan hanya menjadi alat legitimasi eksploitasi lingkungan. Jari tangan
kita tidak akan cukup untuk mengitung jumlah kasus lingkungan di Indonesia yang
menyoal soal AMDAL. Saya jadi ingat jargon-jargon di NGO: ”ayo kita advokasi
kebijakan, demi kesejahteraan masa rakyat!”. Jlebb...!
Saya pikir inilah kenapa mutual aid perlu ditinjau kembali entah untuk dikritik atau untuk
disintesiskan. Selanjutnya, menurut saya yang harus dilakukan sekarang bukanlah
mengajarkan konsep mutual aid pada
petani Kendeng atau petani Kulon Progo, tapi belajar dari mereka. Menggali
kembali konsep-konsep yang mengandung ciri mutual
aid yang saya yakin memiliki akar historis pada masing-masing komunitas
masyarakat di Indonesia dan hadir dengan nama-nama lokal seperti mapalus pada masyarakat Minahasa.
Selanjutnya, adalah mengongkritkan mutual
aid dalam beragam bentuk asosiasi yang nyata, baik secara personal maupun
secara kolektif dalam aksi-aksi dan kerja-kerja yang ada.
Polimorfisme: Dalam
biologi, polimofisme adalah variasi feneotip yang muncul pada satu spesies yang
sama atau kemunculan mofologi yang berbeda dalam satu spesies. Dalam evolusi,
polimorfise berkaitan dengan variasi genetik dan mutasi, contohnya adalah
dimorfisme seksual. Polimorfisme pada satwa di Indonesia dapat ditemukan pada
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas).
Konsep polimorfisme telah digunakan oleh beberapa kelompok anarkis dalam menjelaskan
bentuk-bentuk aksi-aksi yang beragam sehingga tak teridentifikasi baik bentuk
maupun polanya. Polimorfisme juga berarti tak ada takaran dan ukuran dalam
setiap aksi dan tindakan, sehingga setiap orang dengan potensi dan kelemahannya
dapat berbuat sesuatu. Karena polimorfisme sendiri adalah kekuatan dari
“kegagalan” mutasi itu sendiri. Salah satu karakter polimorfisme adalah ia
terjadi pada tempat dan waktu yang sama, dengan demikian ia adalah bantahan
sekaligus proposal bagi mereka yang muak dengan aksi-aksi seragam dan
instruksional. Seperti yang saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya, maka hal
yang dapat kita lakukan adalah berbagi pengalaman beragam aksi-aksi dari
berbagai tempat di Indonesia.
2. Menciptakan dan atau meredefinikan relung
Untuk
secara ringkas menjelaskan tentang usulan ini, saya mengutip Murray Bookchin: “The capacities of a new species are tested
by the rigors of climate, by its ability to deal with predators, and by its
capacity to establish and enlarge its niche. Yet the species that succeeds in
enlarging its niche in the environment also enlarges the ecological situation
as a whole...” [64].
Kita terus dipaksa menempati relung (posisi-fungsi) sebagai pekerja dan
konsumen. Tidak ada yang berada di luar itu. Separasi manusia dengan sesamanya
dan dirinya sendiri adalah konsekuensi dari tercerabutnya manusia dari relung
ekologisnya. Manusia disubjektifikasikan kedalam term pekerja sebagai objek
otoritas dan penghisapan, selanjutnya pemenuhan hasrat difasilitasi lewat spectacle- spectacle. Segala potensi dan kreativitas dikanalisasi dalam
standart tertentu dan relasi menjadi bebas dalam batasan norma-norma, relung non-ekologis
ini sangat luas, seluas batas teritorial negara, sehingga simsalabim.. kita jadi warga negara yang baik dan patuh. Dan ya,
kapitalisme dan negara tetap ada karena kita secara sukarela menyerah pada
eksistensinya, kita sepakat dengan tindakan koersif negara dan membiarkan
intervensinya sampai pada relasi paling personal. Kita dibuat percaya bahwa
inilah hakikat manusia, bahwa untuk inilah kita berevolusi, sebagai spesies
inilah relung paling sempurna.
Jika
kalian menganggap ada yang salah dengan hal tersebut di atas, maka menurut saya
adalah penting untuk menciptakan atau meredefinisikan relung kita masing-masing.
Menentukan sendiri posisi dan fungsi kita serta menciptakan
kembali relasi-relasi bebas dalam ruang yang tidak terbatas. Sehingga pilihan
untuk menjadi “sesuatu” atau tidak bukanlah hal yang penting lagi, semenjak
kita telah menjadi diri sendiri. Kita bisa melihat contoh dari upaya redefinisi
dan penciptaan relung ekologis ini misalnya pada individu-individu nelayan yang
memilih menjadi pembangkang ketimbang jadi korban reklamasi. Pada kelompok
pekerja yang menolak jadi budak sehingga mengambil alih pabrik kemudian
menjalankannya dengan prinsip swakelola. Atau kita bisa melihat bentuk lainnya pada
kolektif-kolektif ataupun afinitas yang mencoba menciptakan ruang-ruang bebas
serta mendefiniskan sendiri relung ekologisnya. Selanjutnya menurut saya walaupun
agak terburu-buru dan mungkin sangat prematur, saya pikir menciptakan atau meredefinisikan
relung ekologi di sini juga dapat diartikulasikan dengan term yang diusulkan
oleh Hakim Bey (Peter Lamborn Wilson); “temporary
autonomous zones”[65].
Bagaimana kita membangun zona-zona otonom temporer yang bebas. Bagaimana
mengintensifikasikan diri dalam kehidupan harian yang serba monoton, sehingga
jaringan rhizomatik dapat muncul dimanapun dengan keunikannya masing-masing. Walaupun
Bey dan Bookchin berseberangan ide, saya pikir ada banyak peluang untuk
mendiskusikannya, banyak titik temu yang bisa dieksplorasi. Di sini mutasi dan
hibridasi mesti dibawa ke dalam tataran eksperimentasi.
3. Melacak “evolusi” anarki(sme) di Indonesia
Jika kita mendefinisikan evolusi sebagai
sebuah proses perubahan dan anarki(sme) juga berevolusi, maka ia ada saat ini
dan di masa lalu, ia pasti meninggalkan jejak-jejaknya, dan kita pasti bisa
menelusurinya. Saya ingin bicara soal anarki(sme) di Indonesia, mungkin lebih
tepat alur perkembangannya. Beberapa bulan yang lalu, saya melihat postingan di
media sosial oleh seorang kawan (E), yang berisi soal penggalan-penggalan
sejarah anarki(sme) di Indonesia pra dan menjelang kemerdekaan 1945. Saya jadi
ingat pada tahun 2010 jurnal Amorfati memuat tulisan berjudul: “Menakar Tanah
Di Negeri Sendiri Dan Menggali Harapan”. Sebuah proposal dan project dalam menggali eksistensi dan
jejak-jejak anarki(sme) (ataupun gerakan dengan nilai-nilai anarkistik) di
Indonesia. Saya tidak tahu, apakah project
tersebut dilaksanakan atau tidak atau juga mungkin sedang dilakukan. Ini
penting menurut saya, bukan soal menemukan pembenaran dan legitimasi gerakan
anarki(sme) di Indonesia atau dalam upaya prediksi gerakan selanjutnya, tapi
untuk mengidentifikasi dan merunut bagaimana sejarah dan perkembangannya,
bagaimana potensi dan kelemahanya, bagaimana ia hadir dan lenyap. Hal ini juga
berguna untuk mengetahui alternatif-alternatif yang belum pernah dilakukan dan
atau memaksimalkan upaya-upaya yang telah dan sementara dilakukan. Belajar dari
kemenangan dan kekalahan yang pernah ada.
Pada bagian literatur misalnya, saya ingat
pertama kali membaca teks-teks anarki(sme) sekitar tahun 2004, hampir 60%
pembahasanya bicara soal f.a.q
anarki(sme), apa itu anarki(sme), bagaimana menjadi anarkis, dll. Dari publikasi-publikasi
tersebut hampir 40% adalah terjemahan sehingga sebagian besar teks-teks
tersebut bicara soal gerakan anarkis di luar negeri[66].
Menariknya menurut saya beberapa tahun kemudian, teks-teks publikasi online maupun offline mulai bicara tentang wacana sosial di Indonesia, mulai dari
pengalaman “pengorganisasian” sampai kritik terhadap gerakan kiri. Hal ini bisa
dilihat misalnya dari Jurnal Affinitas dan Jurnal Apokalips. Bahkan sebuah
kolektif anti-authoritarian di Makasar yang menerbitkan jurnal Kontinum dan Serum
banyak mengangkat isu-isu lokal. Ketika dibandingkan dengan sekarang tahun
2017, walaupun saya melihat ada peningkatan pada angka publikasi teks-teks
anarkis yang kontekstual, tapi berbanding terbalik dengan publikasi offline seperti jurnal-jurnal, phamplet
dan zine, yang sebelumnya banyak sekali beredar (walaupun terdapat beberapa
buku terjemahan yang terbit dan beberapa zine tetap beredar).
Pada publikasi online juga tidak
berbeda, beberapa situs yang sebelumnya aktif sekarang seperti terlantar.
Publikasi di anarkis.org sendiri, dari 92 tulisan yang ada sampai tanggal 15
September 2017, terdapat 23,2% terjemahan, 8,6% tulisan yang dimuat ulang, 6,5%
reportase, 5,5% resensi buku, 3,2% wawancara dan 52 % opini yang terbagi dari
tulisan redaksi dan penulis umum[67].
Saya pikir dari begitu banyak kolektif anti-authoritarian yang ada dan pernah
ada, pasti menyimpan banyak sekali pelajaran (literatur dan pengalaman).
Dokumentasinya masih bisa kita temukan dalam beberapa blog dan publikasi offline seperti phamplet, zine, dan
jurnal-jurnal. Sehingga jika kita ataupun Bima bersedia mencari lagi di
tumpukan buku-buku atau di beberapa folder
lama maka kita akan ingat bahwa tahun 2009 jurnal amorfati#3 pernah memuat
wawancara dengan Theresa Kintz yang membahas sedikit soal evolusi. Tahun 2009
Rumah Info Dendalion mempublikasikan kumpulan terjemahan berjudul: Uncivilized. Di tahun yang sama,
timkatalis mempublikasikan secara online
tulisan berjudul: Terbuangnya Manusia Dari Taman Firdaus dan tahun 2010 mereka
juga mempublikasi secara offline
terjemahan John Zerzan yang berjudul Agrikultur: Mesin Jahanam Peradaban, dan
secara online tulisan mengenai swarm intelegensia, di mana apa
yang dibicarakan ke-lima tulisan tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
apa yang sedang saya sampaikan.
Usulan kongkrit saya semoga kawan-kawan
redaksi anarkis.org dapat menyediakan waktu untuk kembali mengumpulkan beberapa
literatur yang sebelumnya telah dipublikasikan oleh banyak kawan-kawan. Atau
paling tidak membuka ruang diskusi yang lebih dinamis. Karena sekali lagi heterogenitas
adalah lebih baik dari pada homogenitas. Semakin kompleks dan beragam organisme
maka semakin baik bagi evolusi. Jika kita mengakui evolusi, maka sejatinya kita
juga mengakui variasi dan keragaman. Sehingga menurut saya adalah kebohongan
jika kita mengakui heterogenitas namun menunggalkan banyak hal.
Catatan:
[2] Sebagai klarifikasi, penulis bukanlah mahasiswa doktoral biologi Institut Pertanian Bogor seperti yang dijelaskan oleh anarkis.org pada keterangan penulis di bagian sebelumnya: http://anarkis.org/primata-evolusi-anarkisme-bagian-1/. Lagi pula saat mengirimkan bagian pertama tulisan ini saya tidak menyertakan keterangan penulis. Kalaupun butuh keterangan, saya lebih senang mengindentifikasi diri sebagai penggemar aktivitas alam bebas dan senang mengamati satwa liar.
[16] Sebenarnya Spencer sendiri telah menerbitkan pemikirannya mengenai teori populasi dan perkembangannya dengan menggunakan pemikiran Lamarck, sebelum darwin menerbitkan The Origin Of Species.
[27] Daniel P. Todes. 1989. Darwin without Malthus: The Struggle for Existence in Russian Evolutionary Thought. Oxford University Press.
[31] Lihat dalam: Joakim Philipson. 2008. The Purpose of Evolution : the "struggle for existence" in the Russian-Jewish press 1860-1900. Thesis for Ph.D. Stockholm University. Hal 88. dan Thomas F. Glick. 1988. The Comparative Reception of Darwinism. University of Chicago Press. Hal 259-160.
[34] Ibid. Hal 10.
[56] Lihat dalam: http://timkatalis.blogspot.co.id/2010/12/intelejensia-swarm.html
[57] Lihat dalam: http://anarkis.org/sharing-power-perspektif-egalitarian-pengelolaan-sumber-daya-alam/.
[63] Ibid.
[65] Hakim Bey. 1985. T.A.Z.: The Temporary Autonomous Zone, Ontological Anarchy, Poetic Terrorism
0 comments