Artikel
Lapak Move On = Pasar Alternatif ?
Oleh: Terrik Matahari
Beberapa waktu yang lalu saya terlibat dalam kegiatan yang adalah–meminjam kalimat teman- sebuah ruang
ekperimentasi pasar aleternatif, bertajuk Lapak Move On. Hal yang baru di
Manado dan tentu saja menarik bagi saya. Saat sore menjelang, salah satu sudut Godbless Park berubah menjadi semacam
pasar kaget plus-plus. Tak bisa
dibilang ramai untuk sebuah malam minggu di kota Manado, tapi cukup meriah
untuk kongkow-kongkow anak muda. Eits tunggu dulu! ini bukan sekedar
nongkrong, ini sekali lagi eksperimentasi. Tapi saya tidak akan panjang lebar
menceritakan acaranya. Pada tulisan ini saya akan sotoy dengan fokus pada akhir perhelatan kegiatan tersebut:
kesepakatan bersama para partisipan dalam mendefinisikan lapak move on sebagai
sebuah pasar alternatif.
Bermula dari obrolan santai di warung kopi tercetuslah ide lapak
move on, nama itu sendiri diusulkan oleh kawan Th, seorang jurnalis cum aktivis. Belum ada artinya apalagi
makna filosofis. Sang kawan tampaknya sepakat dengan qoute Shakespeare: apalah
arti sebuah nama. Malam berlalu dengan captikus, demikian juga ceritanya.
Tapi berkat inisiatif dan stamina super dari kawan Iz yang multi talenta dan
sebentar lagi jadi bapak, ide tersebut termaterialisasi (atau biar sinkron
dengan paragraf di atas: dieksperimentasikan). Dan benar saja, kegiatan ini
adalah percobaan bebas yang melibatkan banyak orang, banyak ide. Beruntung kami
tidak lagi bereksperimen di lab kimia jika ia, pasti ada yang meledak, atau
paling tidak terbakar. Bagaimana tidak, acara yang mengalir spontan dengan
insiatif masing-masing partisipan tanpa ada komando dan perintah, berjalan dengan
mencampur-adukan segala macam ide dan eskpresi. Dari lapak zine, buku, kaos,
barang-barang vintage, pernak-pernik, tabling FNB, baca gratis, pentas seni, sampai
solidaritas bagi seorang kawan yang tertangkap di Yogyakarta saat mengikuti
aksi May Day (yang kami amini sebagai tahanan perang kelas). Aneh? Ia.
Menyenangkan? Tentu saja! Dan ya, sesungguhnya lapak move on sementara
mengambil bentuknya.
Pada penghujung acara, teman-teman yang terlibat baik pelapak dan
pengunjung yang walaupun berasal dari beberapa komunitas tapi pada umumnya
saling mengenal, bersepakat melantai untuk evaluasi kegiatan. Tapi sabar dulu,
sebelum evaluasi, teman-teman merasa perlu mendiskusikan beberapa misteri: apa
sebenarnya yang telah terjadi? Apa itu lapak move on? kita sebenarnya sedang
terlibat apa? Ia eskperimentasi, tapi eksperimentasi apa? Ini adalah
konsekuensi dari sebuah eksperimentasi bebas, selain tentu saja menyenangkan,
kita harus berusaha menjelaskan bentuk yang telah ditemukan hasil campur aduk
banyak ide. Lagipula, keterlibatan dari hampir semua yang hadir hanya
berdasarkan komunikasi pribadi atas nama perkawanan dan tentu saja flyer yang
disebar di platform medsos milik Mark Zuckerberg. Flyer “yang hanya” berisi undangan melapak
dan senang-senang.
Menariknya misteri tersebut dijawab bersama. Partisipan kemudian
berdiskusi dan perlahan mencoba mendefinisikan bentuk abstrak lapak move on
menjadi lebih kongkrit. Jika tidak salah, kesimpulan sementara yang pada
dasarnya baru berbentuk harapan (paling tidak harapan yang kongkrit, ehm... ) itu adalah sebagai berikut:
lapak move on diharapkan menjadi sebuah model pasar alternatif yang tidak hanya
berorientasi pada profit tapi juga mengutamakan proses berbagi dan belajar
(baik informasi soal produk, pengetahuan dan keterampilan serta tentu saja
canda dan tawa). Sebagai alternatif, lapak move on akan menggali lagi beberapa
konsep yang telah dilupakan pasar konvensional seperti barter dan konsep nilai
guna ketimbang nilai tukar. Selain itu lapak move on diharapkan menjadi ruang
sosial yang tidak melihat partisipan hanya sekedar pelapak dan pembeli tapi
sebagai sebuah komunitas sosial.
Selanjutnya, bukan dalam upaya mencocok-cocokan kata “lapak” dan “move
on”, lapak move on diharapkan dapat dilaksanakan di mana saja tergantung
kesepakatan dari para partisipan. Walau agak debateble “move on” dirasionalisasi sebagai tawaran untuk
meninggalkan ciri pasar konvensional yang menetap pada suatu tempat. Karena
disepakati sebagai kegiatan berkala, lapak move on akan dilaksanakan dalam 2
minggu sekali di tempat yang ditentukan bersama.
Bagaimana? Terharu? Jangan dulu. Kalian belum dengar klimakas dari
diskusi lapak move on ini. Dengan emosi yang meluap setelah melahirkan lapak
move on, beberapa partisipan menyerukan penggalan lirik yang katanya ambisius
dari Efek Rumah Kaca : Pasar Bisa Diciptakan! Betapa mulianya, sekarang
silahkan terharu!
Pasar – yang harus – Bisa Diciptakan
Selang dua hari setelah lapak move on, saya mendapatkan pesan dari kawan Th, sang jurnalis cum aktivis. Sebuah tulisan keren yang tidak hanya mendeskripsikan lapak move on secara detail, tapi juga upaya transkripsi hasil diskusi partisipan lapak dalam mendefinisikan apa itu lapak move on (baca tulisannya di sini). Lewat tulisan tersebut, Th berhasil mempromosikan ke “khalayak” tentang “nilai-nilai” lapak move on. Salute! Dan sebagai dokumentasi tertulis dari kegiatan tersebut, Th juga menggunakan kredo ERK: Pasar Bisa Diciptakan! Sebagai kalimat pamungkasnya.
Saya langsung menghidupkan Laptop dan mengatur play list musik.
Tentu saja ERK. Suara Cholil memang ajaib, aransemen lagunya menghipnotis, tapi
bagi saya, tidak ada yang spesial dengan kalimat Pasar Bisa Diciptakan. Tidak
ada, itu biasa dan bukankah malah seharusnya? Pertanyaannya: pasar yang
bagaimana? Di sinilah saya jadi sotoy.
Berdasarkan KBBI daring, pasar adalah (1) tempat orang berjual
beli, (2) kekuatan penawaran dan permintaan, tempat penjual yang ingin menukar
barang atau jasa dengan uang, dan pembeli yang ingin menukar uang dengan uang
atau barang. Walaupun definisi ini agak kurang mumpuni menjelasakan pasar
secara jelas, tapi paling tidak berdasarkan hal tersebut bolehlah kita
mengambil kesimpulan bahwa pasar mengandung unsur tempat, proses pertukaran,
barang dan jasa, uang dan tentu saja penjual dan pembeli. Mau sederhana lagi,
pasar adalah tempat terjadinya proses pertukaran.
Jika merujuk opa Marx, ia membedakan dua jenis pertukaran
berdasarkan perkembangan masyarakat; pertukaran masyarakat pra-kapitalis dan pertukaran
masyarakat kapitalis. Menurutnya, pada masyarakat pra-kapitalis terdapat dua
bentuk pertukaran. Pertama, pertukaran komoditas dengan komoditas, ditulis
dengan formula: C-C (Comodity-Comodity) yang umum dikenal dengan barter. Dalam
pertukaran ini, orang-orang melakukan pertukaran sesuai dengan kebutuhan.
Misalnya petani yang punya beras akan menukarkan berasnya dengan ikan milik
nelayan dan sebaliknya, sehingga baik petani maupun nelayan akan makan malam
dengan menu yang paling tidak sama: nasi dan ikan.
Pertukaran kedua pada masyarakat pra-kapitalis adalah pertukaran
yang telah difasillitasi uang, ditulis dengan formula: C-M-C
(Comodity-Money-Comodity) yang selanjutnya disebut Marx sebagai sirkuit
komoditas. Bentuk kedua ini masih bisa ditemukan di beberapa pasar tradisional
di Indonesia. Pada bentuk kedua ini, proses pertukaran dimulai dengan adanya
komoditas yang kemudian dijual, selanjutnya uang hasil penjualan tersebut digunakan
untuk membeli komoditas yang diperlukan. Singkatnya, uang pada bentuk pertukaran
ini tidak lebih dari alat tukar, dan keuntungan tidak ditumpuk namun
dialokasikan bagi kebutuhan hidup.
Nah sementara pertukaran pada masyarakat kapitalis, opa Marx
merumuskan formula M-C-M’ (Money-Comodity-Money). Pada pertukaran ini, produksi
dimulai dengan uang (M) dimana uang tersebut digunakan untuk membeli komoditas(C)
untuk selanjutnya dijual dan memperoleh uang (M’). M aksen di sini haruslah berarti keuntungan (nilai M’ harus lebih
besar dari nilai M), sehingga proses yang oleh Marx disebut sebagai sirkuit
uang ini menjadi berbeda dengan pertukaran lainnya. Dari mana keuntungan
tersebut?: Nilai lebih. Maksudnya, jika si A mempunyai uang sebesar 50.000
untuk membuat kaos senilai 40.000 dan kemudian menjualnya seharga 60.000, maka
si A memperoleh keuntungan senilai 20.000. Sehingga total akumulasinya menjadi
30.000 (sisa 10.000+keuntungan 20.000). Hal ini akan dilakukan terus-menerus
oleh si A, karena pada dasarnya ia melakukan ini bukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup tapi untuk menumpuk keuntungan.
Pada pertukaran masyarakat kapitalis, uang tidak hanya sekedar
alat tukar tapi menjadi kapital, di sini uang bukan lagi benda tapi relasi
sosial. Selanjutnya, produksi komoditas bukan untuk semata-mata pemenuhan
kebutuhan tapi untuk akumulasi keutungan.
Dalam logika kapitalisme, pasar tidak hanya bisa diciptakan. Pasar
memang harus diciptakan, ia harus ada di mana-mana. Hal ini bukanlah sikap baik
hati dari kapitalisme untuk menjangkau siapa saja dan memenuhi kebutuhan
konsumsi masyarakat tapi lebih untuk menjawab pertanyaan bagaimana komoditas didistribusikan
sehingga sirkulasi kapital dan pertukaran barang dan jasa lewat jual beli dapat
terus terjadi. Ini harus dilakukan sebagai konsekuensi dari efisensi dan
produksi massal, sehingga lengkaplah alur-tahapannya: produksi, distribusi,
pertukaran dan konsumsi demikian seterusnya. Dengan begitu maka pasar tidak
bisa dipisahkan dengan kapitalisme, karena lewat pasarlah akumulasi dan
sirkulasi kapital tetap terjadi.
Bagi saya, kapitalisme telah hadir hampir di semua tempat di muka
bumi. Kapitalisme tidak hanya berwujud industri besar atau menampakan diri dalam
bentuk pasar modern. Kapitalisme adalah virus, dan semua yang terpapar pasti
terjangkit. Persoalan seberapa parah, itu urusan lain. Ia bahkan diidap oleh sub-kultur
yang mempopulerkan kreatifitas. Ah, masa
sih?
Begini bro and sis,
kita akan dengan mudah melihat bagaimana kreatifitas dikomondifikasikan dalam
bentuk pasar “informal” bertajuk industri kreatif dan bagaimana proyek-proyek
pasar alternatif kehilangan spirit alternatifnya setelah direkuperasi oleh
kapitalisme dan menjelma menjadi bazar-bazar dengan baliho besar bertulis:
"Lapak ini di sponsori oleh...". Hal ini sebenarnya mudah dipahami
karena pada dasarnya pasar alternatif adalah juga sasaran pasar modern. Ini
adalah watak dan modus kerja sederhana dari logika pasar kapitalistik: ekspansi
dan diferensiasi pasar. Kapitalisasi tidak hanya harus dilakukan di mana saja,
tapi pada siapa saja. Bahwa semakin beragam pasar, maka semakin baik bagi
sirkulasi kapital.
Sebagai sistem, kapitalisme dapat mengambil bentuk apa saja, ia
tidak hanya mereplikasi diri, tapi juga merubah ruang-ruang yang dianggap
potensial menjadi pasar. Kapitalisme sedari awal menyadari bahwa hasrat berbeda
bagi masing-masing individu sehingga yang harus diseragamkan adalah hasrat
konsumsi, belanja dan memilih produk-produk. Lagipula kita semua setara dalam
kapitalisme, kita adalah sama-sama konsumen. Ini dengan mudah dilihat dari
eskpansi pasar dalam menyasar komunitas-komunitas anak muda seperti pencinta
alam dengan produk-produk outdoor, atau komunitas musik mulai dari aksesori,
kaos sampai lebel rekaman. Karena sekali lagi, lewat pasarlah sistem
kapitalisme terus hidup. Dan walah.... pasar ada dimana-mana...!!
Menciptakan Yang Alternatif
Jika kita mengacu pada tulisan Th, bahwa salah satu premis pasar alternatif adalah adanya “beberapa hal yang disembunyikan pasar konvensional” sehingga perlu “mendistribusikan kembali pengetahuan” Maka kita semestinya bertanya, apakah pasar modern tengah menyembunyikan sesuatu? Bisa jadi ia, bisa jadi tidak. Selain tentu saja kita tidak bisa menawar, pasar modern sangatlah komunikatif, ia sangat terbuka. Ambil contoh satu produk makanan, produk tersebut selain menerangkan harga, juga mengkomunikasikan pada konsumen komposisi produk, kandungan gizi dan kalori, tanggal expired, serta alamat produsen/pengimpor. Bagi para konsumen yang kepo bisa langsung mengunjungi web perusahaan. Tidak cukup di situ, produsen bahkan menyertakan line telpon untuk layanan konsumen. Acara-acara TV dan chanel youtube menyebarkan liputan proses produksi. Pihak-pihak otoritas menggelar penghargaan bagi top brand dengan syarat-syarat yang tentu saja sangat populis, mulai dari produk ramah lingkungan sampai produk terhigienis. Kurang apa coba? Bahkan negara memfasilitasi terbentuknya lembaga perlindungan konsumen.
Terus apa yang tengah mereka sembunyikan? Di bagian mana kita dibohongi? Tidak bro and sis, pasar tidak
sedang menyembunyikan sesuatu dan kita tidak dibohongi. Ini adalah konsekuensi
pasar kapitalistik. Kenyataannya memang pahit, tapi kita tengah berada di bawah
sistem yang manipulatif. Pada dasarnya, penipuan yang mendapat kesepakatan dari
yang ditipu tidak bisa dikatakan penipuan. Hanya ada satu cara mengindarinya: menghancurkannya!
Tapi itu belumlah lagi heroik bro and sis,
ia menjadi heroik jika kita bisa menciptakan tentu saja: yang alternatif!
Tapi masih mungkinkah pasar alternatif diciptakan? Bagi saya,
menjadi alternatif berarti menjadi berbeda dengan lainnya. Atau yang alternatif
adalah oposisi dari yang utama. Ia menjadi B dari opsi yang hanya ada A. Tapi
lebih dari itu, menjadi alternatif bukan hanya berarti berbeda, namun bisa
berarti negasi, sebuah antitesis. Saat Lapak move on dilihat sebagai pasar
alternatif maka ia tidak hanya sekedar menjadi opsi lain dari pasar
konvensional, tapi sekaligus menjadi bantahan bagi pasar konvensional. Tapi apa
yang ditawarkan lapak move on sebagai antitesis dari pasar konvensional? Jika
pembedanya hanya penggunaan kata “lapak”, maka apa bedanya lapak move on dengan
situs jual-beli online yang juga menggunakan embel-embel “lapak”. Jadi apa yang
membuatnya jadi alternatif?
Barter
Kita tentu saja tidak bisa mengeneralisir bahwa semua pasar yang ada khususnya di Indonesia sebagai pasar konvensional (baca:pasar kapitalis). Beberapa pasar “tradisional” bahkan masih menerapkan sistem barter, sebut saja Pasar Wulandoni di Lembata NTT, Pasar Warloka di Flores, Pasar Terapung Lok Bainta di KALSEL dan beberapa pasar lainnya. Tapi adakah yang baru dari barter? Tidak. Barter adalah ihwal transaksi pertama. Jauh sebelum uang menjadi alat tukar, masyarakat melakukan transaksi dengan menukarkan barang-barang. Bater bahkan menjadi dasar asumsi awal soal nilai suatu barang, lebih khusus nilai guna. Karenanya barter dilakukan atas dorongan kebutuhan dan kegunaan suatu komoditas yang dibarterkan.
Adalah lucu saat sepotong kain ditukar dengan sepotong kain yang
sama, kain akan berguna jika ditukar dengan kaos misalnya. Walaupun kain telah
memiliki nilai pada dirinya, tapi lewat relasinya dengan komoditas yang lain
maka nilai kain akan dapat diketahui. Hal ini karena kualitas suatu barang
menentukan nilai gunanya dan karenanya memiliki nilai relatif, tapi belum
memiliki nilai tukar. Contoh lain, Themmy membuat tas sementara Izal membuat
kaos. Pada saat lapak move on, keduanya bertemu. Saat itu, Themmy membutuhkan
kaos karena kaosnya sobek, sementara Izal membutuhkan tas untuk membawa kaos
yang baru diproduksinya. Agar pertukaran bisa terjadi, keduanya harus sepakat
dalam menakar bahwa baik tas maupun kaos tersebut setara sehingga pertukaran
bisa dilakukan. Seperti kata Marx, komoditas tidak memiliki nilai guna pada
pemiliknya, nilai guna komoditas ditemukan pada orang lain. Selain itu karena
nilai guna menentukan nilai tukar, tanpa nilai guna maka barang tidak bisa
dipertukarkan.
Sekarang coba kita lihat contoh barter yang digambarkan dalam
tulisan kawan Th: “Artinya, jika punya
jam tangan – yang dibandrol mahal oleh industri belanja – tapi tidak punya
celana dalam dan merasa butuh, Anda bisa menjalin komunikasi yang baik untuk
mencapai kesepakatan dengan orang lain yang bersedia menukar celana dalamnya...”
Sekilas contoh ini sama dengan contoh barter tas dan kaos di atas. Tapi jika
kita mau teliti, pada contoh di atas, baik tas dan kaos di produksi sendiri
oleh Themmy dan Izal. Jika kita melihat lagi pasar-pasar tradisional yang masih
menggunakan sistem barter semisal pasar di Lembata, hampir semua barang-barang
yang dibarterkan adalah hasil produksi sendiri; ikan ditukar dengan pisang,
pisang ditukar dengan minyak goreng, dan lain sebagainya. Inilah yang
membedakan barter dengan pertukaran pada pasar kapitalis. Pada contoh yang
diberikan Th di atas, kita melupakan sesuatu: Kerja buruh dalam produksi “jam
tangan” dan “celana dalam”. Karena pada contoh tersebut, barter dilakukan oleh
pembeli jam dan pembeli celana dalam. Jangan lupa bahwa sejatinya nilai lebih
yang menjadi keuntungan bagi kapitalis diperoleh dari proses kerja buruh.
Tapi sepertinya saya maklum dengan kawan Th, karena saat ini
barterpun dikomodifikasi. Lewat penelusuran daring, saya menemukan beberapa
aplikasi yang sementara dibuat bahkan telah beroperasi dengan menggunakan
mekanisme barter. Aplikasi tersebut pada dasarnya sama, memungkinkan orang
untuk membarterkan barang. Terus apa masalahnya? Seperti kita ketahui bahwa
landasan barter adalah adanya kesepakatan dari dua pihak atau lebih dalam
menakar sesuatu yang akan dibarterkan. Atau paling tidak ada kesepakatan dalam
standart ukuran yang sama pada barang-barang tersebut, nah pada dua aplikasi
ini landasan ukuran nilainya bukan pada nilai guna tapi nilai nominal pembelian
barang sebelumnya (nilai tukar). Jadi barang yang sebelumnya dibeli dengan
harga 100.000 hanya bisa dibarterkan dengan barang yang seharga, atau
setidaknya masih seputaran harga 100.000 juga. Menurut saya ini sama saja
dengan pertukaran dalam sirkuit uang, karena walupun wujud transaksinya lewat
barang dengan barang, tapi pada dasarnya uanglah yang dipertukarkan. Barter
dalam bentuk ini asusmsinya adalah komoditas memiliki nilai guna sejauh ia
memiliki nilai tukar. Itu masalahnya.
Kalau begitu, menurut saya, dalam upaya menggali kembali konsep
barter, maka lapak move on harusnya tidak semata-mata melihat corak pertukarannya, tapi
juga asumsi pertukarannya, dengan tentu saja menelusuri corak produksinya. Di sini saya agak sepakat dengan Marx soal: “ubahlah corak produksi masyarakat
maka corak sirkulasi masyarakat juga akan berubah”. Jika hanya mencontoh barter
seperti yang kawan Th jelaskan, maka lapak move on saya pikir harus belajar
banyak dari saudara-saudara nelayan dan petani di Lembata.
Sebagai Ruang
Sosial
Pasar pada dasarnya adalah ruang sosial. Lebih khusus pada pasar kapitalis, relasi sosial difasilitasi oleh komoditas dan uang. Kenapa? Karena ketika barang dipertukarkan barulah barang tersebut memiliki nilai tukar (dalam bentuk uang). Atau sebuah barang akan menjadi komoditas ketika ada dua orang atau lebih mempertukarkanya (dengan perantara uang). Ini artinya komoditas bersifat sosial. Selanjutnya ketika komoditas dipertukarkan di pasar, maka sesungguhnya terjadi juga pertukaran antar kerja abstrak atau waktu kerja sosial buruh yang terkandung pada komoditas tersebut.
Kalau begitu, lapak move on sebagai pasar alternatif seharusnya
memaknai ruang sosial tidak hanya sekedar tempat bertemunya pelapak dan pembeli
kemudian terjadi pertukaran barang, apa lagi sekedar berbagi pengetahuan
mengenai produk yang ditampilkan (kalau begini, apa bedanya dengan iklan-iklan
dan SPG yang tidak hanya menawarkan barang tapi juga menjelaskan produknya?). Tapi
juga sebagai tempat bertemunya ide dan praktek serta ruang berbagi pengetahuan
mengenai proses produksi dan kemungkinan mempelajari cara pembuatan produk
tersebut bagi yang berminat. Sehingga relasi yang ada bukan semata relasi jual
beli. Di sinilah saya pikir semangat do
it your self/do it with your friends harus diartrikulasikan sehingga
mencapai titik optimalnya. DIY harus menjadi medium belajar bagi siapa saja. Dengan
begitu, barulah kita bisa berkata bahwa lapak move on adalah “pasar yang tidak hanya berorientasi profit
dan jual beli, tetapi juga menawarkan sesuatu yang lain: proses berbagi”
Walaupun aggak ambisius, menurut saya jika lapak move on bisa
menjadi ruang sosial yang non-kapitalistik, maka terbuka peluang bagi lapak move on untuk bertransformasi sebagai komunitas sosial yang menerapkan -seperti kalimat Marx-: “Dari semua orang berdasarkan keahliannya, untuk semua orang berdasar
kebutuhannya”. Dengan tentu saja berdasarkan kemauan masing-masing individu.
Tapi apakah tawar menawar (bukan permintaan dan penawaran) haram
pada lapak move on? Eits jangan salah
tawar-menawar merupakan hal penting, ini sebagai jalan mencapai kesepakatan atau
negosiasi dalam menakar produk. Jangan lupa, bahwa tawar menawar adalah salah
satu ciri perbedaan pasar modern dan pasar kapitalistik. Memang bisa menawar di
supermarket? Coba jo kalo nintau malo.
Move on
Anggapan umum bahwa pasar adalah tempat, sesungguhnya bermakna ambigu dan bisa menyesatkan. Akibatnya beberapa dari kita melihat pasar hanya dalam bentuk fisik, pasar haruslah berbentuk bangunan, atau setidaknya terdapat plang nama pasar. Sehingga pasar haruslah menetap. Menurut saya salah satu perbedaan pasar modern dan pasar tradisional adalah pada pasar tradisional, pasar ditentukan atas kesepakatan bersama, baik lokasi maupun waktunya. Itu kenapa di beberapa tempat, terdapat pasar yang hanya buka pada hari-hari tertentu seperti pasar rabu, pasar sabtu, dan lain sebagainya. Ini juga mengindikasikan bahwa tidak adanya produksi massal pada pasar tradisional, sehingga barang tidak perlu didistribusikan setiap hari. Lokasinya pun bisa berubah-rubah, bisa di alun-alun, bisa di pinggiran desa, dan lain sebagainya. Pasar tradisional yang telah terdapat bangunan fisik atau plang nama pasar, pasti adalah pasar yang telah mendapat “bantuan” dari negara atau perusahaan. Jadi pada pasar tradisional, permanen juga bisa berarti temporer. Sementara pada pasar modern mekanisme pasarnya ditentukan oleh pemodal atau pemilik pasar dan tentu saja negara. Ini pun sudah usang, sejak pasar mengenal bentuk abstrak dan kongkrit.
Saya kira, mungkin hanya kuskus, tarsius, dan satwa lainnya yang
tidak tahu bahwa hari ini pasar ada dimana-mana, pasar tidak hanya eksis di
dunia nyata tapi juga dunia maya. Transaksinya bisa dilakukan dengan bertemu
langsung atau tidak, sehingga kita bisa bertransaksi saat tiduran atau bahkan
saat sedang boker. Berterimakasihlah pada smartphone yang memfasilitasinya. Handphone cerdas yang membodohi manusia.
Dengan berpindah-pindah, lapak move on tidak saja berkaitan dengan
melawan “hagemoni pasar konvensional yang
menetap pada satu tempat”, tapi sekaligus upaya okupasi dan reklaim ruang
publik yang diprivatisasi. Karena tidak ada standar lokasi bagi lapak move on
maka ia bisa diadakan di mana saja, di taman kota, di kampus, di jalan raya dan
di berbagai tempat lainnya. Selanjutnya, berbeda dengan pasar kapitalistik yang
terus beroperasi setiap hari akibat produksi massal, lapak move on hanya diadakan
dalam 2 minggu sekali. Ini mengindikasikan bahwa lapak move on memang tidak
mengejar produksi massal. Di sini saya setuju dengan Th bahwa lapak move on dapat
menjadi antitesis pasar kapitalistik. Dan lebih jauh, saya akhirnya sadar bahwa
ternyata tidak hanya cinta yang harus berurusan dengan move on, tapi juga
ekonomi+politik.
Epilog
Dalam waktu dekat lapak move on akan dihelat untuk kedua kalinya. Beberapa kawan harap-harap cemas, tentu mereka tidak cemas dengan stok barang lapakan. Mereka termasuk saya cemas dengan kenyataan. Ya, kami cemas apakah lapak move on masih akan sesuai dengan yang semula kami harapkan atau tidak. Yang jelas kami punya harapan, walaupun kata nenek, harapan harus terukur, kalau tidak namanya impian. Namun tentu saja harapan beda tipis dengan impian, dua-duannya bahkan punya batasan yang sama: kenyataan. Lapak move on telah terlaksana, dan akan diadakan untuk kedua kalinya, masalahnya apakah ia akan sesuai dengan harapan? atau apakah kita menaruh harapan terlalu besar pada lapak move on? apakah malah ini utopis? kita lihat saja besok.
Secara peribadi saya tidak berharap terlalu muluk. Bagi saya, terlaksananya lapak move on paling tidak telah mengkonfirmasi dua hal, pertama, bahwa kita memang sudah muak dengan pasar kapitalistik, yang kedua bahwa kita tidak butuh negara dalam menentukan apa yang bisa dan tidak bisa kita lakukan.
Terakhir, yang saya mau sampaikan dari panjang lebar tulisan ini
adalah kita bisa saja menciptakan pasar alternatif, kita bisa menciptakan
bentuk sirkulasinya, tapi tentu saja ini tidak akan bertahan lama, karena
sistem produksi tidaklah berubah. Benar kita bisa menyablon kaos sendiri, tapi
apakah industri kain dan cat sablon sudah tidak kapitalistik dan tidak mengeskploitasi
buruh? Jika ekperiementasi ini kita harapkan menjadi bentuk baru sebagai
antitesis sistem pasar kapitalistik, maka ada satu prasyarat yang harus kita
lakukan: menciptakan produksi non-kapitalistik.
Kalau begitu, sampai jumpa di lapak move on selanjutnya!
Sumber foto: https://tofo.me/lapakmoveon
1 comments
Seperti lagi kuliah di dalam kelas. Sukak, dijabarkan panjang lebar. Mau nnaya kalau misalnya menciptakan pasar, dia tidak barter tapi dia tetap mengindahkan ruang sosial yang mana dapat muncul ide, kemudian akan digagas bersama di sana, juga lokasinya bisa terjadi dimana saja. Itu bagaimana penyebutannya?
ReplyDelete